Oleh: Davy Byanca
Dalam perjalanan spiritualku, aku sering mendengar hadist untuk memahami bagaimana Mahapenyayang dan Mahapengasihnya Allah swt; “Seseorang tidak akan masuk surga dengan amalnya!” Mereka berkata, “Tidak juga engkau wahai Rasulullah?” Nabi saw menjawab, “Tidak juga aku, kecuali kalau Allah menutupiku dengan rahmat-Nya.” Hr. Bukhari.
Dengan logika bodoh dan sederhana, dulu kupikir ternyata amal tak akan memasukkan diriku ke surga, maka tidak perlulah kita bersusah-payah untuk melakukan amal saleh. Kerana bukankah surga adalah hak dan pemberian Allah yang diberikan kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya. Hatta, orang tersebut tidak pernah beramal saleh sama sekali!
Lalu, untuk menopang pembenaran pemikiran ini aku membaca kisah tentang seorang wanita tuna susila yang (konon katanya) masuk surga hanya kerana dia menolong seekor anjing di tepi jalan yang sedang sekarat. Wah klop sudah pikirku.
Untung sebelum terlanjur jauh tenggelam dalam kejahilan, aku membaca buku karya Muhammad al-Ghazali berjudul ‘al-Janib al-Athifi min al-Islam, Bahts fii al-Khulq wa al-Suluuk wa al-Tashawwuf’ terbitan Dar-al-Da’wah. Aleksandria Mesir.
Dalam bab mengenai ‘Hakikat Ibadah’ beliau menulis, qadha dan qadar itu tidak menentukan masa depan manusia. Di akhirat kelak mereka akan memetik hasil yang mereka tanam di dunia. Kalau ada yang menyatakan pendapat selain pendapat ini, maka pastilah ini merupakan suatu kebodohan tentang Islam atau mengada-ada belaka. Beliau lalu mengutip surah Luqmaan [31]: 8-9, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh, bagi mereka surga-surga yang penuh kenikmatan. Kekal mereka di dalamnya, sebagai janji Allah yang benar.”
Ayat tersebut, dan ratusan ayat lainnya, menunjukkan dengan jelas bahwa manusia adalah penentu tempat kembalinya sendiri. Tangannya sendiri yang menentukan masa depannya. Takdir Tuhan tidak pernah membawa manusia ke negeri pembalasan dalam keadaan hina. Jadi, menafsirkan secara harfiah hadist tersebut merupakan pemikiran yang keliru serta mengada-ada. Bagaimana sikap mereka ketika Allah swt berkata kepada orang-orang mukmin pada hari penghisaban kelak: “Dan itulah surga yang diwariskan kepadamu disebabkan amal-amal yang dahulu kamu kerjakan. Di dalam surga itu ada buah-buahan yang banyak untukmu yang sebagiannya kamu makan.” Qs al-Zukhruf [43]: 72-73.
Lalu apa makna filosofis dari hadist tersebut? Secara sederhana bisa dikatakan bahwa, seorang mukmin sejati hidupnya dipenuhi dengan amal saleh, namun ia tidak diperkenankan untuk berharap banyak dan mengagung-agungkan amalnya. Di antara kesempurnaan amal saleh adalah harus sesuai dengan ketentuan, serta tidak melampaui batasan-batasan syariat.
Maka, orang yang mengira bahwa ketaatan yang dia persembahkan -walau tidak benar dalam pelaksanaannya serta tidak murni niatnya, maka ketaatan itu kebal dari kritik dan koreksi. Orang itu jelas tertipu!
Kenapa? Sebab tak ada satu pun amal yang tidak luput dari cacat. Tugas kita hanya beramal saleh, meluruskan niat semata mencari ridha Allah semata. Itu pun tidak ada jaminan bahwa amal tersebut bersih dan bebas dari segala macam penyakit hati.
Cukuplah bagi kita mempersembahkan sesuatu kepada Allah seraya mengakui kekurangan diri. Meyakini bahwa hak Allah sedikit pun tidak bisa ditebus dengan amal terbaik kita. Meyakini bahwa seandainya Allah tidak menyelamatkan kita dengan rahmat-Nya, pasti kita akan binasa.
Begitulah. Dia akan membuat kita sampai kepada-Nya dengan apa yang diberikan-Nya kepada kita, bukan dengan apa yang kita berikan kepada-Nya. Kalau bukan karena kebaikan-Nya, tidak ada amal yang berhak diterima.