Oleh: Davy Bya
Semua manusia memasuki kehidupan ini dengan tangan kosong, lalu berharap bisa menggenggam serta memperoleh segalanya di dunia. Apa sesungguhnya yang kita dambakan?
Awalnya, mungkin hanya makanan, cinta dan kasih sayang yang kita tuntut. Kelihatannya, keinginan itu gampang dipenuhi, tetapi dengan segera keinginan itu tumbuh semakin besar dan lebar. Jadi, yang kita sebut sebagai “kebutuhan” pun menjadi semakin rumit. Malah Brenda Shoshanna, Ph. D berkata, “maka jadilah kita mahluk yang menginginkan segalanya. Kita ingin menerima, menggenggam, dan memiliki. Kita ingin memiliki segalanya dan untuk selamanya.”
Untuk menumbuhkan kesadaran itu, aku tertarik dengan sebuah kisah yang terdapat dalam buku karya Brenda yang berjudul “Zen Wisdom.” Dikisahkan bahwa ada seorang murid yang ingin menemukan rahasia semesta dan arti hidup yang sesungguhnya. Ia lalu mengadakan perjalanan jauh dan bertemu dengan seorang guru yang hidup di puncak gunung. Ia mendatanginya dan disambut oleh sang guru.
Sang guru mempersilakannya duduk di atas tikar di lantai, dan lalu menjerang air untuk membuat kopi. Murid itu menanti kopi itu siap disajikan. Air itu lama mendidih. Si murid menjadi tidak sabar, ingin agar segala basa-basi itu segera berakhir, mengajukan pertanyaan, dan memperoleh jawaban atas makna sejati semesta.
Ia tidak menginginkan kopi, yang ia sangat inginkan adalah jawaban. Ia pikir ia akan mendapatkannya segera. Ia kira jawabannya adalah sesuatu yang dapat disampaikan orang padanya. Semakin ia tidak sabar, semakin lama pula air itu mendidih. Jelas bahwa bukan hanya ia tidak sabar, tetapi juga bahwa ia tidak hadir bersama dirinya sendiri. Ia mengira beberapa jawaban yang akan diberikan guru itu padanya akan membebaskannya dari kegelisahan.
Akhirnya kopi pun siap untuk disajikan. Guru Zen itu menyerahkan secangkir gelas padanya dan ia menerimanya dengan tangan gemetar karena saking senangnya. Pikiran dan tubuhnya tidak tenang. Di benaknya, ia menyimpan lebih banyak pertanyaan tambahan yang ingin ia ajukan begitu sang guru menjawab yang pertama. Sang guru menuangkan air panas sampai ke bibir cangkir. Walaupun cangkir itu telah penuh sekali, guru Zen itu terus menuang, sehingga dengan segera kopi panas itu meluap hingga ke pinggir, ke tangan si murid yang gemetar.
“Apa yang engkau lakukan?” teriak si murid. “Apa yang aku lakukan?” jawab guru Zen. “Persis seperti cangkir kopi ini, engkau sedang memenuhi dirimu dengan gagasan, keinginan, pertanyaan, khayalan. Bagaimana engkau dapat menerima sesuatu dariku jika cangkirmu penuh? Untuk dapat menerima ajaran mana pun, pertama-tama engkau mesti mengosongkan cangkirmu.”
Mawlana Rumi berkata, perkecillah dirimu, maka kau akan tumbuh lebih besar dari dunia. Tiadakan dirimu, maka jati dirimu akan terungkap tanpa kata-kata.
Sobat akheratku, mari kosongkan cangkir kita, melepas imajinasi hampa kita, membuka diri untuk mengecap dan menghargai secangkir kopi. Suasana kosong dan hening banyak memberikan pelajaran; kita tak punya apa-apa dan bukan siapa-siapa. Kita hanya sekadar menumpang lewat saja. Tak ubahnya ketika menyeruput kopi panas di pagi hari.