Oleh: Davy Byanca
Saat imanku sedang memudar, dengan alasan apapun. Biasanya aku membutuhkan nasihat dari siapa saja; teman, guru, buku atau alam semesta. Nah, beberapa hari lalu saat jiwa mulai mengering, aku teringat dengan nasihat Imam al-Ghazali kepada muridnya dalam buku terjemahan yang ditulis Abu Bakar Abdurrazak berjudul “Matahari di Dalam Diri.”
Begini kisahnya: Suatu hari Imam al-Ghazali menasihati muridnya, “Duhai anakku, hiduplah sekehendakmu, sesungguhnya engkau itu bakal mati. Cintailah orang sesukamu, sesungguhnya engkau pasti berpisah dengannya. Dan beramallah sesukamu, sesungguhnya engkau pasti mendapatkan balasannya.”
Si murid terdiam sesaat, kemudian dia bertanya kepada gurunya, “Apakah manusia bisa hidup sesukanya, wahai Imam, karena barusan engkau mengatakan ‘Hiduplah sesukamu?”
Al-Ghazali menjawab, “Itulah yang aku maksud, wahai anakku. Jika manusia tidak dapat menjamin umurnya sesaat pun; bersama Allah, manusia tidak mempunyai kehendak -Dan engkau tidak mampu menempuh jalan itu, kecuali bila dikehendaki Allah (QS al-Insaan [76]: 30- dan jika Allah telah membuat ketentuan bagi tiap-tiap manusia, dan bila telah datang ajalnya, maka manusia tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun serta tidak pula dapat memajukannya. Tidak seorang pun yang dapat mengetahui dengan pasti apa yang akan diusahakannya esok, tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Mengenalmu.”
“Jika demikian halnya, mengapa manusia senang membiarkan sesaat dari umurnya lewat begitu saja? Sementara dia tidak tahu apa yang akan terjadi setelah itu, apakah dia masih hidup ataukah harus datang sendiri menghadap kepada Tuhan Yang Maha Penyayang?
Apakah hal-hal yang terjadi setelah hisab tidak menjadi perhatiannya? Apa yang dapat menjamin dia akan ingat Allah atau lupa kepada Allah? Apakah masih memungkinkah untuk bertaubat? Ingatlah, Allah swt sangat mencintai para hamba-Nya yang bertaubat. Dengan bertaubat, semangat akan kembali bangkit, cita-cita kembali muncul, dan dada kembali penuh dengan keimanan kepada Tuhan semesta alam.”
”Wahai anakku, itulah yang perlu engkau ingat. Engkau harus tahu kelemahanmu dalam masalah ini dan ketidakmampuanmu untuk mengetahui sesaat dari umurmu apakah engkau masih akan hidup ataukah sudah mati?
Sesungguhnya, sekalipun engkau diberi umur panjang seperti umur Nuh as, engkau tetap bakal bertemu dengan kematian. Engkau pasti kembali ke tempat kembalinya orang-orang. Kehendakmu untuk hidup tidak bisa membuatmu terus hidup. Berusahalah untuk menguatkan imanmu, bila tanda-tanda kelesuan muncul. Dengan upaya seperti itulah, engkau akan tetap di atas keimananmu. Aku tidak menghendaki apapun darimu selain engkau menjadi orang yang beriman, dengan keimanan yang benar.”
”Wahai anakku, di manakah kaum ’Ad sekarang? Mereka adalah penduduk Iran yang memiliki bangunan-bangunan megah. Di manakah kaum Tsamud yang memahat batu-batu besar di lembah? Tanyailah mereka seandainya mereka bisa bicara! Tidak, engkau pasti tahu, mereka tidak dapat bicara. Sekali-kali engkau tidak sanggup menjadikan orang di dalam kubur dapat mendengar.”
”Lihatlah wahai anakku, mereka adalah kaum-kaum yang lebih kuat daripada kita, yang telah mengolah bumi dan memakmurkannya. Rumah-rumah mereka telah runtuh. Betapa banyak sumur dan istana yang menjulang tinggi ditinggalkan. Orang yang tadinya menempati rumah, ternyata sekarang mendiami kuburan. Tidak ada pembangunan yang kekal. Dan tidak ada istana yang abadi.”
”Wahai anakku, di manakah orang yang lemah yang berlagak sombong itu? Di manakah istana yang telah dibuat para penguasa itu? Istananya yang hancur lebur memberitahukan kepadamu bahwa urusan itu adalah milik Allah! Di manakah orang-orang yang berlagak sombong itu? Di manakah bangunan-bangunan buatan mereka itu? Di manakah semuanya itu? Mereka binasa dan tewas! Dahulu mereka hidup sepertimu. Mereka mencintai sesuatu, kemudian mereka dengan yang mereka cintai itu dihalangan oleh kematian. Apa yang mereka cintai hilang sia-sia. Kehidupan tak lain adalah cinta, dan cinta tak lain kecuali seperti yang dikatakan oleh kehidupan: ”Ingatlah, segala sesuatu selain Allah adalah bathil. Semua nikmat pasti lenyap.”
”Ingatlah hal ini, wahai anakku! Jangan kau cintai selain Allah. Ingatlah Dia sewaktu engkau merasakan imanmu melemah, niscaya imanmu akan bangkit kembali, dan engkau pasti bersemangat lagi. Aku ingin engkau menjadi seorang mukmin sejati.”
Begitulah. Setiap kali usai membaca nasihat dari salah satu guru kehidupan ini, jiwa terasa tenang kembali. Kita memerlukan guru-guru kehidupan untuk mendengarkan nasihat, kita membutuhkan teman untuk saling mengingatkan, dan kita membutuhkan ilmu untuk mengetahui mana yang benar dan salah, yang batil dan yang hak.
Ada baiknya Anda juga memiliki ”teman” yang senantiasa sudi memberi nasihat.