Oleh: Joko Intarto
Kawan saya sedang gundah. Gara-gara selembar surat somasi dari sebuah stasiun televisi. ‘’Ini somasi kedua,’’ kata pimpinan biro iklan itu dengan nada masygul.
Sudah 10 tahun ia memasang iklan di stasiun TV itu. Lancar-lancar saja. Baru sekali ini ia kesandung masalah. Dampak pandemi.
Persoalan bermula pada awal tahun 2020. Biro iklan itu menerima order pemasangan iklan di sebuah stasiun TV yang sekang menyomasi itu. Nilainya tidak besar. Untuk ukuran iklan TV. Tapi juga tidak bisa dibilang kecil.
Pendek cerita, biro iklan itu kemudian membuat order pemasangan iklan ke stasiun TV tersebut atas nama kliennya: perusahaan jasa berbasis aplikasi.
Promosi berjalan sesuai jadwal. Stasiun TV menayangkan sesuai order. Tidak ada yang kurang satu pun.
Sayangnya, tak lama setelah promosi berjalan, Indonesia dilanda pagebluk Covid-19. Muncullah berbagai aturan: Larangan dan kewajiban. Mulai 3M, 5M, 7M sampai 11T. Eh!
Perusahaan klien itu akhirnya kelimpungan. Usahanya mati sebelum berkembang. Menyisakan utang yang menggunung. Salah satunya: biaya iklan di stasiun TV itu.
Meski demikian, klien itu tetap berusaha menyelesaikan utangnya. Walau perusahaannya kolaps, utang tetap dibayar. Bertahap. Sampai saat ini sudah terbayar sekitar 30 persen. Dari nilai yang miliaran rupiah itu.
Sejak dua atau tiga bulan lalu, biro iklan itu tidak bisa menghubungi kliennya. Komunikasi terputus. Cicilan utang ikut-ikutan tersendat.
Tiba-tiba biro iklan itu menerima somasi dari stasiun TV. Dua kali pula. Isi somasi sebenarnya standar: Meminta agar penerima surat menyelesaikan kewajiban sebelum masuk ranah pengadilan.
‘’Saya harus bagaimana bro?’’ tanya teman saya.
‘’Anda perlu mediator. Bukan pengacara yang akan mewakili Anda di pengadilan,’’ jawab saya sok tahu. Tujuan saya satu: Ia harus segera tenang. Agar bisa meneruskan mengurus bisnisnya dengan baik.
Saya ingat ada beberapa kawan kuliah saya yang sekarang terakreditasi sebagai mediator profesional. Saya kontak salah satunya pagi tadi. Di sela-sela mengurus hybrid event sosialisasi ketentuan perizinan frozen food yang tengah heboh di Shangri-La Hotel, Jakarta Pusat.
‘’Saya beberapa hari yang lalu diminta memberikan pandangan di Polres Jakarta Barat karena kasus mirip-mirip ini sekarang bermunculan,’’ jelas praktisi hukum dan penulis buku hukum yang sangat produktif itu.
Saya tidak ingin membahas masalah stasiun TV dengan biro iklan itu. Biarlah persoalannya diselesaikan mediator.
Saya justru tertarik dengan profesi baru para praktisi yang disebut mediator itu. Sepertinya mediator akan menjadi profesi menarik di masa depan.
Mediator merupakan pihak yang berada di tengah-tengah. Kehadiran mediator kemungkinan besar malah bisa menyelesaikan permasalahan di luar peradilan. Boleh jadi waktu penyelesaian perkaranya tidak lebih cepat dibanding proses pengadilan. Tetapi yang pasti tidak akan menimbulkan kegaduhan.
Praktik mediator sudah ada sejak dulu. Tapi baru sekarang saya tahu kalau profesi tersebut diakreditasi. Sangat ketinggalan informasi.
Harap maklum. Sejak lulus Fakultas Hukum Universitas Diponegoro tahun 1991, saya langsung bekerja di Jawa Pos. Ijazah sarjana hukum saya pun baru saya urus enam tahun kemudian.