Breaking News
(Foto : Ruang Sastra)

Sepotong Cinta yang Terluka

Oleh: Cahyadi Takariawan

(Foto : Ruang Sastra)

Seorang bapak mengadukan perlakuan anak pertamanya yang kasar kepadanya. Anak pertama tersebut perempuan, kini telah duduk di bangku kuliah. Sebut saja namanya Bunga.

Setiap pagi Bunga memaksa bapaknya untuk membersihkan kamar tidur dan kamar mandi, serta menyiapkan sarapan pagi yang dikehendakinya. Setiap malam Bunga memaksa bapaknya untuk menyediakan santap malam sesuai seleranya.

Itulah yang terjadi setiap hari. Setiap malam. Bapaknya diperlakukan seperti pembantu atau budak. Tetapi mengapakah Bunga berperilaku seperti itu ? Tentu ada alasannya.

Rupanya semenjak kecil Bunga sering mendapatkan perlakuan yang menyakitkan dan melukai hati serta perasan, dari bapaknya. Sang Bapak sering menampar, menendang, menjambak rambut, dan memaki-maki Bunga dengan kata-kata yang kasar dan kotor.

Bunga sering menangis karena mendapatkan perlakuan kasar dari bapaknya. Hanya karena urusan kecil dan sepele, sang Bapak cepat emosi dan ringan tangan menampar wajah Bunga. Mungkin, maksud sang Bapak adalah mendisiplinkan Bunga, mendidik Bunga agar bisa mandiri dan cepat dewasa.

Gadis kecil nan lugu itu merasa sakit dan hatinya terluka. Ia menangis sejadi-jadinya. Sang Bapak makin merasa anaknya demikian cengeng dan manja. Maka tangis Bunga justru semakin membuat keras sikapnya. Makin menangis, makin keras bentakan bapaknya.

Sayang, peristiwa seperti ini terjadi hampir setiap hari. Selalu ada tangis, selalu ada perasaan yang terluka. Sejak kecil, hingga ketika mulai sekolah di SD, SMP bahkan SMA, perlakuan kasar itu selalu didapatkannya.

Rupa rupanya torehan luka demi luka yang diderita Bunga, menjelma menjadi dendam dan kemarahan yang membara. Menjelma menjadi kesumat yang bergelora. Ia ingin ada waktu dimana bisa menuntaskan balas dendamnya. Dan waktu itu kini miliknya.

Saat sang Bapak sudah mulai tua dan kian lemah, Bunga beranjak dewasa. Ia mendapatkan dirinya, kesempatannya, waktunya yang telah ditunggu sejak 20 tahun lalu. Suatu saat ia pulang dari kuliah, dibawanya sebilah clurit dan segulung lakban. Dengan lakban itu, ia membuat garis di dalam rumahnya. Dibelah menjadi dua.

”Bagian kiri garis ini adalah rumah milikku. Bagian kanan garis adalah rumah milik bapak dan ibu”, begitu Bunga mulai memberi instruksi.

Semenjak hari itu, ya, semenjak hari itu, Bunga memperlakukan Bapaknya seperti pembantu. Disuruh suruh, diperintah sesuai keinginannya. Mengepel lantai bagian rumah Bunga. Membersihkan toilet Bunga. Menyiapkan teh panas dan sarapan sesuai selera bunga. Lalu untuk apakah Bunga membeli sebilah clurit?  Inilah kisah berikutnya.

Setiap kali sang Bapak menolak permintaan Bunga, segera clurit dikeluarkan dari kamar untuk mengancam. ”Bapak atau aku yang mati”, demikian ancam Bunga. Selalu.  Terpaksa sang Bapak selalu menuruti kemauan anaknya.

Menyapu kamar, mengepel lantai, membuatkan teh, kopi, sarapan, makan malam, mencuci baju kotor, dan berbagai pekerjaan lainnya. Karena jika tidak dilakukan, berarti harus duel melawan anaknya yang bersenjata clurit.

Ternyata semua perbuatan Bunga itu adalah bentuk balas dendam atas perlakuan bapaknya selama ini. Kekerasan fisik dan psikis yang dilakukan sanga bapak sejak Bunga masih kecil menjelma menjadi trauma.

Pertanyaannya, mengapa harus ada yang terluka? Bukankah sang Bapak harusnya mencintai Bunga, dan Bunga sudah semestinya mencintai sang Bapak?

Saat sang Bapak ditanya kenapa ia tega memukul Bunga semenjak masih kecil? Sang Bapak menjawab, karena itu merupakan bentuk kasih sayangnya kepada anak, agar anak bisa disiplin dan baik dalam kehidupan.

Kenapa sang Bapak membentak Bunga sejak kecil? Agar anak hormat kepada orang tua, agar anak menuruti orang tua, agar anak tidak manja, agar anak disiplin dalam hidupnya. Itu semua rasanya alasan yang mulia.

Ya, jika memang mencintai, mengapa harus melukai? Dan lihatlah hasilnya, apakah cara yang digunakan sang Bapak untuk mendidik dan mendisiplinkan anak memberikan hasil seperti yang diharapkan? Ternyata tidak. Bahkan berkebalikan sama sekali.

Bunga tidak tumbuh menjadi anak yang taat dan patuh kepada orang tuanya, justru menjadi pemberontak. Bunga tidak menjadi anak yang penuh cinta dan kasih sayang, justru menjadi anak yang penuh benci, dendam dan kemarahan.

Lihatlah, ternyata mencintai tidak berada pada tempat yang sama dengan melukai. Mencintai memiliki cara dan seni tersendiri. Melukai bukanlah bagian dari cara maupun seni mencintai. Mengapa harus ada yang terluka, jika landasannya adalah cinta?

Ternyata, kesalahan terletak pada cara mengekspresikan cinta yang tidak pada tempatnya. Ekspresi cinta yang represif dan kasar. Ekspresi yang berlebihan dan tidak menggunakan perasaan.

Tidak patut orang tua berlaku keras dan kasar kepada anak-anaknya. Mereka adalah jiwa baru yang masih polos dan bersih, semestinya dijaga dan dirawat dengan penuh cinta kasih.

Bentakan, pukulan, tendangan, dan aneka perlakuan kasar lainnya, hanya akan menimbulkan dendam dan trauma. Anak-anak bisa hidup dalam kungkungan ketakutan, kecemasan, kengerian dan ketidakceriaan. Bagaimana potensinya akan bisa tumbuh berkembang jika diperlakukan dengan cara semena-mena?

Benarlah sabda Nabi mulia:

‎إِنَّ الرِّفْقَ لاَ يَكُوْنَ فِي شَيْءٍ إِلاَّ زَانَهُ وَلاَ يُنْزَعُ مِنْ شَيْءٍ إِلاَّ شَانَهُ

“Sesungguhnya kelembutan itu tidaklah ada pada sesuatu melainkan ia akan menghiasinya. Tidaklah dihilangkan kelembutan itu dari sesuatu melainkan akan memperjeleknya.” (HR. Muslim, no. 2594).

Hentikan semua bentuk kekerasan terhadap anak-anak. Hentikan berlaku zhalim kepada mereka. Penuhi hak-hak anak dengan sebaik-baiknya. Berikan kasih sayang dengan cara yang bijak dan benar.

Mereka adalah masa depan bangsa, negara bahkan peradaban dunia.

About Redaksi Thayyibah

Redaktur