Oleh: Davy Byanca
Konon, seorang Yahudi hidup bertetangga dengan seorang Muslim. Yahudi ini hidup di ruang atas, dari mana semua jenis kotoran dan sampah berasal, kotoran anak-anaknya, air bekas cucian baju, semuanya jatuh ke ruangan keluarga sang sufi yang berada di lantai bawahnya. Tetapi Muslim itu tak pernah menegur, malah berterima kasih kepada Yahudi, dan memerintahkan keluarganya untuk melakukan hal yang sama. Hal itu berlangsung terus selama delapan tahun, sampai Muslim itu wafat. Untuk mengucapkan duka cita kepada keluarganya, Yahudi itu pun mengunjungi kamar Muslim itu. Melihat semua debu kotoran dan bagaimana kotoran itu terbuang dari ruang atas, dia menyadari apa yang telah terjadi selama bertahun-tahun kemarin.
Dia pun berkata kepada keluarga Muslim itu, ”Mengapa engkau tidak pernah menceritakannya kepadaku? Mengapa engkau selalu berterima kasih kepadaku?” Mereka menjawab, ”Ayah kami memerintahkan kami untuk selalu bersyukur dan marah jika kami menghentikan rasa syukut itu.” Yahudi itu terdiam, tak lama kemudian ia pun bersyahadat.
Demikianlah Allah swt telah menanamkan kata-kata yang baik, sangka yang baik, dan perilaku yang baik kepada keluarga Muslim itu. Dampaknya, si Yahudi pun akhirnya beriman. Perilaku keluarga Muslim itu ibarat sebuah tukang kebun yang menanam bunga dan tetumbuhan wangi di sekeliling rumahnya. Dalam bahasanya Mawlana Rumi, ” Mereka yang menanamkan kebiasaan berbicara baik tentang orang lain seperti tukang kebun yang menanam bunga dan tetumbuhan yang wangi di sekeliling rumah mereka –ke mana saja mereka memandang, mereka melihat sebuah pemandangan yang indah dan selalu berada di surga.”
Ketika orang-orang bicara dengan baik tentang orang lain, kata-kata baik itu akan merefleksi balik kepada diri mereka sendiri, pada akhirnya mereka memuji esensi mereka sendiri. Kapan pun kita berbicara baik tentang orang lain, orang itu menjadi kawan kita. Ketika kita mengingat mereka, kita mengingat seorang kawan, dan memikirkan kawan adalah seperti berada di dekat bunga-bunga dan tetumbuhan yang wangi. Inilah yang namanya penyegaran dan ketenangan. Jika kita temukan kesalahan dalam diri saudara kita, kesalahan yang kita lihat dalam diri mereka ada dalam diri kita. Dalam bahasa yang berbeda, seorang sufi –Muzafffer Efendi, ”Saat kita melihat ada kotoran pada diri orang lain, bersihkanlah kacamata kita.”
Seorang sufi sejati senantiasa menempatkan dirinya ibarat sebuah cermin, di mana ia dapat melihat bayangannya sendiri karena ”orang beriman adalah sebuah cermin bagi kawan-kawan beriman mereka.” Ia akan senantiasa menghapus kesalahan-kesalahan yang menempel di dalam dirinya, karena akan mengganggu dirinya dan diri orang lain. Janganlah menjadi seokor gajah yang dungu. Seekor gajah saat dibimbing menuju sebuah sungai kecil untuk minum. Ketika melihat bayangan dirinya sendiri dalam air, ia menjauh. Ia berpikir bahwa ia sedang menjauhkan diri dari seekor gajah lain. Padahal, sesungguhnya ia menghindari dirinya sendiri.
Seorang sufi selalu mengajarkan kepada murid-muridnya untuk menjadi sebuah cermin bagi tetangga-tetangga mereka. Karena itu jika kita belum mampu merasakan kesengatan kebenaran, kita belum termasuk cermin bagi orang lain kecuali bagi dirinya sendiri. Bukankah Nabi Muhammad saw menaklukkan Mekkah dan daerah sekitarnya dalam upayanya untuk memberikan kehidupan dan menyebarkan Cahaya Ilahiah kepada semua manusia? “Ini adalah sebuah tangan yang terbiasa memberi, ia tidak terbiasa untuk mengambil.”
Bukankah Allah telah memberikan bejana kepada semua orang? Bagi sebagian, Dia menunjukkan bejana yang penuh dengan ar, dan mereka meminumnya sampai kenyang. Tetapi bagi sebagian lagi, Allah malah menunjukkan bejana yang kosong.
Rasa syukur apa yang dapat diberikan seseorang demi sebuah bejana yang kosong? Hanya mereka, yang ditunjukkan bejana yang penuh oleh Tuhan, menemukan rasa syukur atas berkah ini. Tugas kita di dunia ini adalah menjadi manusia yang dapat memberdayakan manusia lain dalam upaya melimpahkan berkah-berkah-Nya kepada sesama Muslim, bukan untuk mengambil apa-apa dari mereka, insya Allah!
Di hadapan Tuhan -pendek kata, segala yang merupakan tujuan kita adalah nama kita yang sebenarnya, demikian tutur Rumi.