Oleh: Joko Intarto
Bikin tempe skala kecil ternyata beda dengan skala menengah. Pasti juga akan berbeda pada skala besar. Ternyata mengelola jamur tempe itu gampang-gampang susah.
Sejak tanggal 1 Oktober 2021, tempe Mbah Bayan berproduksi dengan fasilitas kerja baru. Ada mesin pengupas kulit kedelai dan ruangan khusus untuk merendam, merebus, menguleni ragi, membungkus dan memeram.
Harapan saya produksi tempe bisa menjadi lebih baik dan lebih efisien. Namun hasilnya malah mengecewakan. Tiga hari pertama produksinya gagal total. Tempe yang dihasilkan berwarna kekuningan, menandakan jamurnya ‘’tua’’ dengan kadar air yang tinggi. Jamur tempe tumbuh lebih cepat. Akibatnya juga menua lebih cepat.
Selama berproduksi sebulan terakhir, baru sekali ini terjadi. Lik Pur yang sudah 5 tahun memproduksi tempe juga terheran-heran.
Saya coba mencari akar permasalahannya dengan ‘mengotopsi’ produk tempe yang bermasalah itu. Selain berwarna kekuningan pertanda jamurnya sudah tua, suhu tempenya juga terlalu panas. Lebih panas dari suhu wajarnya. Kadar airnya juga tinggi. Becek. Tempe pun membusuk dengan cepat.
Kambing hitam harus ditemukan. Logika harus dikedepankan. Maka ruang pemeraman menjadi tersangka utamanya.
Ruangan berukuran 4 x 5 meter itu dibuat khusus dengan rak bambu yang tertutup rapat. Sirkulasi udara terbukti kurang baik.
Ruang pemeram itu berkapasitas maksimal 100 Kg. Sementara produksi hari pertama hanya 60 Kg, hari Kedua 45 Kg dan hari ketiga 30 Kg. Logikanya, masih oke. Secara kapasitas.
Tapi ada yang luput: Saya tidak memperhitungkan kalau pertumbuhan jamur tempe juga bisa memicu naiknya suhu ruangan. Apalagi jumlah tempe yang diproduksi sebanyak itu.
Ruang pemeram tempe lebih mirip sauna. Suhu ruangan di atas 35 derajat Celsius. Masuk beberapa menit saja, tubuh saya mulai berkeringat. Gerah.
Padahal, menurut referensi jamur tempe memerlukan suhu kamar ideal antara 25 – 27 derajat Celsius saja.
Pada produksi hari ketiga, sebagian tempe ditempatkan di ruang pemeraman. Sebagian lagi ditempatkan di ruangan terbuka dengan suhu kamar apa adanya.
Hasilnya sesuai yang diperkirakan. Tempe yang di ruang terbuka berhasil. Sedangkan tempe yang di ruang pemeraman menua dengan cepat. Normalnya 48 jam setelah dibungkus, kedelai baru manjadi tempe. Ternyata di ruangan itu, proses penuaan menjadi 12 jam lebih cepat.
Penasaran dengan fakta itu, saya buka-buka internet. Saya temukan informasi menarik: Sebuah alat pengatur suhu ruang pemeram tempe karya siswa SMP Petra 2 dan SMP Petra 3 di Surabaya yang menjadi juara lomba karya inovatif LIPI beberapa tahun lalu.
Alat sederhana itu bekerja dengan sensor suhu. Bila suhu ruangan mencapai ambang batas atas akan menghidupkan mesin pendingin udara. Kalau suhunya terlalu rendah, sensor akan menghidupkan mesin penghangat udara.
Mirip dengan mesin pengatur suhu di kandang ayam potong yang pernah saya lihat di daerah Guci, Slawi, Jawa Tengah. Kandang ayam berkapasitas 1,2 juta ekor milik pengusaha Muhammadiyah itu juga dilengkapi alat pengatur suhu berbasis sensor.
Kesimpulan saya sekarang sudah final: Jamur tempe itu tergolong makhluk manja. Tidak mau kedinginan. Juga tidak senang di dalam sauna.