Oleh: Setiardi
Sebelum menjadi office boy di Kantor PU Sumsel, saya menjadi petani di pelosok Palembang.
Saya juga kerap menceritakan kisah ini pada tiga anak saya: Seno, Rania dan Rishad. Saya berharap mereka punya mental pejuang yang tak cengeng.
Cerita ini berawal saat saya merantau ke Palembang. Tahun 1984, baru umur 13 tahun. Saya naik kereta api dari Tanjungkarang ke Kertapati, Palembang. Seorang diri. Biar tampak ‘dewasa’, saya iseng merokok Djarum Super. Saya bayangkan kalau sudah merokok tak akan dianggap anak kecil lagi oleh penumpang lainnya. Kereta api Rajabasa itu penuh sesak. Bau keringat. Kotoran manusia menumpuk di toilet. Maklum itu kereta kelas kambing.
Sampai di Stasiun Kertapati sekitar jam 8 malam. Saat itu stasiun penuh copet, juga begal. Saat turun dari kereta, saya lihat seorang pemuda mengalungkan clurit ke penumpang yang baru datang. Mengambil topi dan dompet. Untunglah saya aman. Mungkin wajah tirus saya terlihat miskin. Ternyata punya tampang miskin itu bermanfaat.
Di Palembang saya menuju rumah Pakde, saudara dari pihak Bapak saya. Dia tinggal di Suak, yang saat itu adalah pelosok tempat jin buang anak. Rumahnya dekat pekuburan China. Punya tanah lumayan luas. Di sini, saya yang masih kurus kerempeng, mulai ‘dipaksa’ mengisi badan. Saya menjadi petani — menanam ketimun, kacang panjang, singkong, bayam dan lain-lain. Saya mencangkul tanah, membuat ‘galengan’ untuk ditanam. Jika sudah ditanam, ada beragam pekerjaan menanti: menyiram dengan memikul air di pundak, membersihkan rumput, menyemprot pestisida dan banyak lagi.
Setelah sebulan di sana, saya mulai mencari sekolah. Alhamdulillah, dibantu Bulek Salmiati, saya diterima di SMP 3 Palembang. Jarak dari rumah ke sekolah sekitar 15 kilometer. Saya tempuh dengan jalan kaki, kadang bersepeda. Tak pernah diberi uang jajan. Pokoknya harus bertahan hingga sampai ke rumah lagi.
Menjadi petani butuh semangat. Saat panen misalnya, saya menimbang hasil hingga larut malam. Kemudian dikemas di karung. Jam 3 pagi saya bawa hasil panen ke Pasar Palimo. Lewat kuburan China yang sepi. Seorang diri. Saya naik sepeda ontel untuk membawa dua karung hasil panen, di kanan dan kiri. Bagi saya kuburan China sama sekali tak menakutkan. Berbeda dengan nuansa seram di kuburan kita.
Sampai di Pasar Palimo, para pedagang, juga tengkulak, selalu mengerumuni saya. Mereka menawar hasil panen yang saya bawa. Di sini trik menjatuhkan mental biasa digunakan para tengkulak. Biasanya mereka pasti bilang yang tak menyenangkan: harga lagi jelek, atau ada petani lain yang siap dibeli dengan harga yang lebih rendah. Saya punya cara sendiri untuk bersiasat dengan para tengkulak.
Usai traksaksi dengan tengkulak, saya titipkan sepeda di Pasar Palimo. Saya berganti baju seragam SMP. Tak lupa memakai kaos singlet, merek swan, rider atau hings. Sebab kepala sekolah saya mewajibkan siswa memakai kaos singlet agar rapi. Yang tak memakai kaos singlet harus siap ditabok jika sewaktu-waktu diperiksa.
Pulang sekolah saya jalan kaki ke arah Suak. Saya kerap melihat teman sekelas saya, Rosdiyanti Diah Andriani, yang juga jalan kaki ke arah jalan Demang Lebar Daun. Yanti jalan dengan membawa payung. Katanya selain antisipasi hujan, bisa memukul cowok iseng di jalan. Sekarang Yanti jadi dokter mata ngetop di Lampung. Dia ikut bikin Lampung Eye Center.
Sebetulnya ada juga teman yang searah dengan saya. Namanya Hajarul Aswad. Dia pulang sekolah dijemput dengan mobil jeep plat merah. Anak seorang jaksa. Tapi saya tak ditawari ikut. Jadi saya pulang lebih sering jalan kaki, hampir dua jam sampai rumah.
Tak tinggal bersama orang tua, ngenger dengan kerabat, itu butuh ketabahan. Kita tak bisa berleha-leha. Setiap pulang sekolah, selain mengurus kebun ketimun, kacang panjang, bayam dll, saya juga harus merawat sapi dan kambing. Mulai jam empat sore saya mencari rumput untuk pakan sampai besok pagi. Saya pakai arit mengumpulkan rumput hijau. Pulang menjelang magrib. Setelah itu menyalakan Lampu Petromak. Maklum listrik saat itu belum masuk Suak, Palembang.
Saya hanya bertahan enam bulan di Suak. Saya merasa jarak ke sekolah terlalu jauh. Pernah suatu kali kejeblos sungai kecil saat berangkat sekolah. Terpaksa bolos karena pakaian basah kuyup. Itu sebab saya putuskan ‘minggat’ dari rumah Pakde. Saya kemudian mencari kerabat jauh yang rumahnya tak jauh dari SMP Negeri 3 Palembang. Kebetulan pekerjaannya tukang kebersihan di Kantor PU Sumatera Selatan. Sejak nebeng di rumah Beliau, saya tak lagi jadi petani cilik. Profesi saya lebih keren: office boy tanpa gaji!
Ha ha ha