Oleh: Joko Intarto
Menjelang asar saya kedatangan tamu: Mas Rohman bersama dua kawannya. Rupanya mereka bertiga sama-sama guru di pondok pesantren Miftahul Ulum, Demak. Jaraknya sekitar 50 Km dari pabrik tempe Mbah Bayan di Dusun Glonggong, Desa Kranggan Harjo, Kecamatan Toroh, Kabupaten Grobogan.
Sehari sebelumnya, Mas Rohman memang mengirim pesan melalui messenger. Ia ingin bertemu saya untuk bertukar pikiran.
Semula saya mengira Mas Rohman datang karena urusan tempe. Maklum, selama sebulan terakhir saya lebih banyak menulis di Facebook tentang liku-liku di balik usaha tempe Mbah Bayan.
Ternyata dugaan saya meleset. Mas Rohman datang untuk berdiskusi soal lain: Masa depan siswa SMK multimedia. Benar-benar topik yang berat. “Saya sudah lama mengikuti terus tulisan Pak Joko soal multimedia di grup Vmix Indonesia. Mumpung sekarang di Purwodadi, saya mau silaturahmi,” katanya.
Saya memang berbisnis di bidang multimedia dengan bendera Jagaters Studio. Tetapi saya sebenarnya tidak tahu masa depan industri multimedia itu akan seperti apa. Otak saya tidak cukup cerdas untuk membaca masa depannya.
Perkenalan saya dengan bisnis multimedia pun karena bukan kemauan saya. Ketika itu, tahun 2007, Pak Dahlan Iskan menugaskan saya membantu Jak TV, stasiun televisi lokal Jakarta, yang tengah dalam kondisi sulit. Padahal saat itu saya sedang semangat-semangatnya mengembangkan Indo Pos bersama Irwan Setyawan.
Koran ini merupakan dendam saya sejak lama.
Tahun 1993, saya meminta waktu untuk wawancara khusus dengan seorang public figure di Jakarta. Ketika saya sebutkan identitas saya sebagai wartawan Jawa Pos, tokoh itu terheran-heran. “Koran Jawa Pos? Itu koran berbahasa Jawa? Terbit di mana?”
Jawaban tokoh itu benar-benar membuat saya kesal. Dalam hati saya bertekat suatu saat saya akan menerbitkan Jawa Pos edisi Jakarta. Dendam itu terbayar pada 2003 atau 10 tahun kemudian dengan terbitnya Indo Pos.
Empat tahun saya memimpin Indo Pos. Sampai datangnya perintah Pak Dahlan untuk pindah tugas ke Jak TV itu.
Tiga bulan pertama bekerja di Jak TV, saya lebih banyak mendengarkan dan bertanya ini-itu kepada teman-teman. Sangat jarang saya memberi pendapat. Terus-terang, saya benar-benar tidak tahu industri media televisi.
Suatu ketika, Sony Soemarsono, kawan kerja di Jak TV bertanya. “Pak Joko kan pimpinan di Jak TV. Kok tidak pernah berkomentar atau memberi pendapat dalam setiap rapat mingguan?” tanyanya.
Pertanyaan itu membuat saya gelagapan. Terpaksa saya buka kartu. “Saya besar di industri media cetak. Saya baru belajar media televisi ya di Jak TV ini,” jawab saya.
“Ooo… kirain Pak Joko banyak diam karena memang pendiam,” komentar wartawan senior yang sekarang menjadi direktur Jak TV itu.
“Jangan bilang-bilang ya. Kalau saya berkomentar, pasti ketahuan anak-anak kalau saya tidak ada ilmunya,” jawab saya.
Rahasia itu kami simpan rapat-rapat sampai saya menuliskannya di artikel ini.