Oleh: Joko Intarto
Malam ini saya kembali tidur beralas tikar lipat di emperan ICU RS Permata Bunda, Purwodadi. Di dalam ruang steril itulah ibu saya terbaring dengan aneka macam selang dan layar monitor.
Dua bulan lalu saya tidur di emperan itu pula. Sepuluh malam. Menunggui ibu yang ngedrop setelah dua bulan kesulitan tidur. Dampak serangan Covid-19.
Setelah mengerjakan dua proposal virtual event Jagaters Studio untuk bulan Oktober, saya buka-buka email. Siapa tahu ada yang baru. Atau email lama yang belum sempat saya buka.
Benar saja. Ada 14 email baru. Yang 8 email berupa jawaban atas email saya. Yang 3 berisi penawaran pinjaman dari perusahaan pinjaman online abal-abal. Dua email lain berupa tawaran investasi dari perusahaan kaleng-kaleng.
Hanya satu email yang benar-benar baru dan perlu dijawab serius. Pengirimnya: Ibnu. Mengaku seorang mahasiswa di Semarang yang sudah hampir dua tahun lebih banyak tidur di rumah ketimbang kuliah daring.
Ibnu bertanya satu hal: Apa menariknya menjadi agen tempe Mbah Bayan.
Baiklah. Saya akan menjelaskan jawabannya di sini. Siapa tahu, sebenarnya ada pula pembaca Facebook saya yang penasaran dengan konsep agen tempe tetapi malu bertanya.
Agen tempe sebenarnya tidak baru. Namanya saja yang kurang lazim. Tetapi praktik bisnisnya sudah berjalan sejak dulu.
Agen adalah istilah untuk seseorang atau perusahaan yang bertugas memasarkan suatu produk melalui jaringan pengecer. Agen koran memasarkan koran. Agen tempe memasarkan tempe. Dulu pernah ada agen SDSB: Memasarkan kupon undian berhadiah.
Agen tempe Mbah Bayan saya adopsi dari ilmu keagenan koran dan majalah yang pernah saya geluti sejak mahasiswa lebih dari 30 tahun lalu.
Sebagai agen, saya menjadi ‘anak buah’ distributor sekaligus menjadi ‘bapak buah’ beberapa pengecer. Jumlah pengecer tidak dibatasi, sepanjang di area yang telah ditetapkan distributor.
Agen membeli produk dari distributor dengan diskon dan menjual kepada pengecer dengan harga tertentu. Selisih harga itulah pendapatan kotor agen.
Tahun 2003 – 2007 saya memimpin koran Indo Pos di Jakarta. Karena sulitnya mencari agen, saya buka kesempatan kepada semua karyawan untuk menjadi agen di rumah masing-masing.
Saya juga menjadi agen di Kelapa Gading, Jakarta Utara. Punya pengecer atau loper di Priok, Sunter, Kelapa Gading, Pulomas, Cempaka Putih. Pernah melayani pelanggan 800 orang. Rata-rata 700 pelanggan.
Rutinitas saya setiap pukul 03:00 adalah menerima kiriman koran dari percetakan kemudian membagi-bagi sesuai jatah setiap loper. Pukul 05:00 seluruh pekerjaan saya selesai. Pekerjaan loper selesai pukul 07:00.
Setiap eksemplar koran memberi keuntungan Rp 1.000. Sebagai agen saya mendapat keuntungan kotor Rp 1.000 x 700 x 30 = Rp 21.100.000. Keuntungan itu saya bagi 3. Yang 2/3 untuk loper dan operasionalnya.
Nah, agen tempe pun saya bayangkan seperti itu. Satu agen tempe bisa melayani 50 pengecer. Setiap pengecer diberi jatah 10 bungkus. Maka sehari bisa melayani 500 bungkus.
Bila setiap bungkus menghasilkan pendapatan Rp 150. Maka pendapatan agen per bulan kurang lebih Rp 150 x 50 x 10 x 30 = Rp 2.250.000. Sudah lebih banyak dibanding UMR Kabupaten Grobogan.
Kalau ingin meningkatkan pendapatan, gampang saja. Tambah pengecernya menjadi 100. Naikkan penjualan setiap pengecer menjadi 20. Hasilnya: Rp 150 x 100 x 20 x 30 = Rp 9.000.000.
Bisakah satu orang melayani hingga 100 pengecer? Bisa. Banget.
Dengan teknik distribusi yang baik, pengiriman tempe ke 100 outlet bisa diselesaikan dalam waktu dua hingga tiga jam. Sebelum jam kerja kantoran, tugas pengiriman sudah kelar seluruhnya.
Meski peluangnya sangat menjanjikan, faktanya tidak banyak yang tertarik menjadi agen tempe. Entah mengapa.