Oleh: Davy Byanca
Dalam beberapa kitab klasik tasawuf, para sufi selalu digambarkan sebagai pribadi yang gemar mengenakan pakaian yang lusuh dan kasar. Ini disebabkan adanya pendapat yang mengatakan kata sufi berasal dari kata ‘shuf’ yang berarti bulu atau wol kasar. Pendapat ini didasarkan pada kenyataan bahwa Rasulullah saw pernah mengenakan shuf (wol), demikian pula para sahabat. Seorang tokoh sufi, Hasan al-Bashri bercerita, “Aku pernah berjumpa sebanyak 70 orang Ahli Badar yang mengenakan shuf.” Hasan al-Bashri termasuk Sufi pertama yang mempelopori gerakan zuhud. Beliau menisbatkannya kepada nabi Isa as dan nabi Dawud as dalam praktik-praktik kezuhudannya yang pada masa itu jelas tampak pada para zahid.
Namun demikian, banyak pula sufi yang menentang pendapat tersebut, di antaranya adalah Junaid al-Baghdadi. Beliau berkata, “Jika engkau temui seseorang sufi yang menampakkan lahirnya. Ketahuilah, bahwa batinnya hancur, yang nampak hanyalah pakaian kusam.” Pernah suatu ketika Abu al-Hasan bin Basyar menemui Abu Muhammad bin Akhi Ma’ruf al-Karkhi yang sedang mengenakan jubah dari shuf (wol) dan berkata kepadanya, “Wahai Abu Muhammad ..! Sudahkah Anda mentasawufkan hatimu, atau hanya pakaianmu saja? Tasawufkan hatimu, dan berpakaianlah yang halus!”
Dalam salah satu riwayat, dikisahkan pernah seseorang berkata kepada Abu Hasan bin Sam’un, “Wahai syaikh, Anda mengajak manusia kepada Allah dan berpaling dari dunia. Tetapi Anda sendiri berpakaian paling bagus, memakan menu yang terlezat. Mengapa bisa demikian?” Abu Hasan menjawab, “Segala yang mampu memperbaiki hubungan dirimu dengan Allah, kerjakan..! Apabila hubunganmu dengan Allah menjadi baik karena pakaian halus dan makanan lezat, maka tidak ada masalah!”
Pertanyaannya, apakah benar kehidupan para sufi itu identik dengan kain wol yang kasar? Apakah benar keimanan seseorang diukur dari baju yang dikenakannya? Apa benar orang-orang yang berpakaian secara sederhana adalah orang-orang yang telah mencapai maqam makrifat? Mari kita dengar apa yang disampaikan oleh Syaikh Abu al-Abbas ra. Beliau bercerita bahwa, ”Aku bersama Abu al-Hasan di Qairawan. Saat itu bulan Ramadhan, hari Jumat, malam ke-27. Syaikh pergi ke masjid Agung dan aku ikut bersamanya. Ketika syaikh Ab al-Hasan masuk mengenakan pakaian ihram, aku melihat para wali berjejal menghampirinya bagaikan lalat mengitari madu. Menjelang pagi, tatkala keluar masjid, syaikh Abu al-Hasan berkata, ”Tadi malam adalah malam yang agung, laylatul qadr. Aku melihat Rasulullah saw berkata kepadaku, ’Wahai Ali, sucikan pakaianmu dari kotoran, niscaya kau akan memperoleh pertolongan Allah swt, pada setiap embusan nafas!’
Aku bertanya, ’Wahai Rasulullah, apa pakaianku itu?’ Rasulullah saw menjawab, ’Ketahuilah Allah telah menganugerahkan kepadamu lima pakaian: mahabbah (cinta), makrifat, tauhid, iman, dan Islam. Siapa yang mencintai Allah, segala sesuatu ringan baginya. Siapa yang mengenal Allah, segala sesuatu kecil baginya. Siapa yang mengesakan Allah, ia takkan menyekutukan-Nya. Siapa yang beriman kepada Allah, ia akan merasa aman dari segala sesuatu. Dan siapa yang menyerahkan diri kepada Allah, maksiatnya pasti berkurang. Kendatipun tergelincir ke dalam maksiat, segera ia meminta ampunan-Nya. Jika ia meminta ampun, pasti Dia mengampuninya.’ Ketika itulah baru aku memahami firman Allah swt, ’Dan pakaianmu hendaknya kamu bersihkan!”
Dari kisah ini, ternyata menjadi seorang sufi tidaklah harus berpakaian kumal, mengenakan jubah wol atau berpakaian putih-putih dengan jubah dan sorban. Dia bukanlah seseorang yang menyangkal dunia, anti dunia, memilih menjadi orang miskin, anti sains, tidak mengurusi masyarakat serta menyibukkan dirinya dengan melulu berdzikir di masjid tanpa mempedulikan keadaan sekitarnya.
Sufi yang benar adalah, sufi yang bekerja, mencari nafkah. Bisa saja dia seorang yang kaya raya, tetapi hartanya digunakan untuk beribadah di jalan Allah sesuai dan berdasarkan syari’at. Sufi yang baik adalah sufi yang mengutamakan amal shalih dan yang selalu bersyukur atas nikmat harta yang dititipkan oleh Allah Swt kepadanya untuk digunakan membantu orang-orang yang tidak mampu. Insya Allah.