Oleh: Davy Byanca
Kaum muda adalah generasi penerus suatu bangsa, generasi penerus ajaran Rasulullah saw, generasi masa depan Islam. Untuk itulah mengapa mereka dijadikan sasaran empuk oleh orang-orang Barat untuk dijadikan korban peradaban, korban budaya yang secara perlahan tapi pasti akan menggeser atau melemahkan akidah mereka. DR. ‘Aidh bin Abdullah al-Qarni berkata, “Mereka adalah cadangan-cadangan iman dan “kekayaan” yang melimpah. Namun, mereka membutuhkan orang yang datang untuk menyeru dan mengingatkannya, menyingkap tabir kegelapan dirinya, dan menggosok karat yang melekat padanya. Sehingga, dia akan kembali bersih, suci, dan kuat dengan izin Allah.”
Lantas mengapa generasi muda yang menjadi sasaran tembak? Pasalnya, 70% penduduk Timur adalah pemuda, sementara di Barat hanya 30%. Dapatkah kita memahami kenyataan ini? Bahwa kelanjutan peradaban di masa datang sudah seharusnya menjadi milik kita. Alasannya karena kita memiliki sumber daya manusia dan potensi yang besar.
Namun, menurut Amru Khalid dalam kitabnya “Hatta Yugayyiru ma Bianfusihim (Jika Anda mau Berubah)”, “Ada satu kekhawatiran yang terus menghantui kita yaitu, kekhawatiran atas realitas 30% Barat tersebut ternyata lebih memiliki kesungguhan dan kehidupan ketimbang 70% yang kita miliki. Presentase 70% kita sama sekali tidak menyamai 30% mereka..” Lantas, solusi bagaimana yang harus ditempuh? Permasalahan ini kemudian menjadi penting. Sebab saat ini kita lalai membangun sebuah umat. Lalu mengapa harus pemuda?
Apa yang disampaikan Amru Khalid, berdasarkan survey yang mendeteksi zaman sukses, kemudian runtuhnya sebuah negara lewat generasi mudanya. Dengan pendekatan empiris mereka dapat memprediksi apakah sebuah negara akan jatuh 20 tahun mendatang atau tidak. Survey yang dilakukan oleh tersebut sesungguhnya pernah dipraktikkan ribuan tahun yang lalu di Andalusia, Spanyol. Kejadian ini merupakan pukulan telak bagi kaum Muslimin karena Andalusia jatuh ke tangan Portugal setelah memerintah selama 800 tahun. Bagaimana itu bisa terjadi?
Dikisahkan bahwa pada masa kekuasaan Islam di Andalusia, ada seorang pendeta yang berjalan-jalan dan bertemu anak kecil sedang menangis. Pendeta tersebut bertanya, “Mengapa kamu menangis?” Sang anak menjawab, “Kakek saya mengajari saya cara memanah yang benar sehingga bisa mengenai sasaran. Tadi saya melepaskan busur panah sepuluh kali, sembilan busur mengenai sasaran dan yang satu tidak. Inilah yang menyebabkan saya sedih dan menangis.”
Pendeta tersebut lalu kembali ke kaumnya dan berkata, “Kalian tidak punya kekuatan untuk mengalahkan umat Islam. Mereka membiasakan anak-anak mereka untuk memiliki semangat dan tekad yang tinggi.”
Tahun demi tahun berlalu. Kemudian muncullah pendeta lain yang berjalan-jalan di Andalusia. Di tengah jalan ia bertemu dengan seorang tua yang sedang meneteskan air mata. Sang pendeta bertanya, “Mengapa kamu menangis?” Orang tua itu menjawab, “saya ditinggal kekasih.” Kemudian pendeta tersebut menemui kaumnya dan berkata kepada mereka, “Sekaranglah kesempatan kalian untuk menyerang kaum muslimin dan mengambil kembali tanah kalian yang terampas!”
Bayangkanlah, setelah 800 tahun berkuasa, mereka menaklukkan kaum Muslimin hanya dalam 2-3 bulan. Pertanyaannya mengapa ini bisa terjadi? Karena generasi mudanya sudah menjadi generasi yang cengeng, yang sesenggukkan kala ditinggal pergi sang kekasih.
So .. bagaimana dengan kaum muda kita? Jangan bilang anak mudanya lemoy gemulai, mimpi menjadi milyarder seraya mengisap candu, dan nongkrong di club menghamburkan uang orang tuanya!