Pada 15 Agustus 2021, Imarah Islam Afghanistan resmi berkuasa, setelah pada tahun 1996-2001 gagal mempertahankan pemerintahannya. Kini, setelah 20 tahun menempuh jalan jihad dan diplomasi, Taliban kembali berkuasa secara damai. Mengapa TaIiban didukung rakyat Afghan sekalipun telah distigma negatif oleh opini global? Tulisan ini dirilis untuk menyanggah framing negatif terhadap Taliban.
—000—
Pak Najib adalah warga desa biasa. Beliau tak ikut kelompok apapun. Harapannya cuma satu: kehidupan yang aman dan damai bagi seluruh warga desa, dan anak cucunya bisa belajar dengan tenang.
Kehidupan hariannya seperti bapak-bapak umumnya di New York ataupun di Jawa. Mencari nafkah, antar anak dan cucu sekolah, ke pasar belanja, cari buku pelajaran, dan tak lupa nongkrong bareng untuk ngopi atau ngeteh. Teman tongkrongan pak Najib bukan orang-orang sembarangan: mereka adalah anggota TaIiban, kelompok Mujahid yang mengalami monsterisasi selama 20 tahun terakhir.
Anda pasti tahunya Taliban adalah Teroris Internasional, ‘penjagal’, mafia, musuh peradaban, penindas wanita dan ancaman bagi peradaban manusia dll. Malah Bush lebih jauh mengancam: “klo ente bareng mereka, berarti ente musuh kami (Amerika)!”.
Pak Najib ya biasa saja. Di mata dia, Taliban itu teman nongkrong, mungkin sama lah dengan kita nongkrong di warkop dekat masjid lalu kenalan sama polisi atau aktivis Jama’ah Tabligh yang ngajak jadi Karkun.
TaIiban lahir dari para pejuang di madrasah kecil. Dulu setelah Uni Soviet kalah oleh Mujahidin dan rezim Komunis tumbang tahun 1989, terjadi konflik internal di antara pejuang. Pemerintahan baru bernama “Negara Islam Afghanistan” tidak efektif.
Preman bersenjata yang berkedok mujahidin bisa menjadi warlord tingkat kecamatan. Menindas warga sipil, membunuh, melecehkan (bahkan memperkosa) wanita, menjarah gerobak pedagang, merampas truk sembako, persis gaya PKI di masa perjuangan NII. Berbuat sesukanya seperti geng mafia.
Mullah Muhammad Umar bersama para santri bangkit mengangkat senjata. Tahun 1994 di pinggiran kota Kandahar, 50 orang santri dalam waktu singkat sukses menumpas para preman. Lagaknya kombatan, tapi beraninya hanya kepada warga sipil, begitu ketemu ke orang yang sama-sama bersenjata mereka langsung melempem seperti kerupuk.
Para kriminal diadili pakai hukum Islam. Yang gembong atau kejahatannya berat (semisal pembunuhan) dieksekusi dan digantung mayatnya untuk ditunjukkan kepada masyarakat. Ini loh yang bikin resah. ThaIiban kasih pesan jelas ke seluruh warlord kriminal di Afghanistan.
Warga mendukung penuh mereka. Puluhan orang mejadi puluhan ribu dalam waktu singkat. Menurut isu, intelijen Pakistan atau ISl juga memberikan dukungan kepada ThaIiban.
Hanya 2 tahun keamanan dikembalikan. Supir berani melewati jalan sepi AKAP untuk antar sembako. Keledai angkut bebas gerak antar desa. Rampok dan tukang jarah takut beraksi, sebabnya karena mereka takut tangannya dipotong ThaIiban.
TaIiban menguasai 90% wilayah. Mengungguli semua kelompok besar di era perang melawan Soviet. Banyak yang bergabung, tapi banyak juga nama besar yang menolak dan malah jadi rival. Wajar sih, selain soal beda gaya politik dan corak ideologi, ThaIiban juga masih dianggap anak kemarin sore. Gengsi lah. Tapi hal begini tidak perlu dipermasalahkan, tidak akan mencabut amalan mereka yang melawan Komunis Soviet.
Tahun 1996-2001 TaIiban menjadi Ulil Amri. 3 negara yaitu Saudi, Pakistan dan UEA mengakuinya. Kebanyakan negara Barat masih mengakui “Negara Islam Afghanistan” yang di kemudian hari menjadi Aliansi Utara.
2001 Bush menyerang Afghanistan setelah bingung cari Kambing Hitam untuk membalas dendam atas “serangan 9/11 di tanah Amerika”.
Amerika gerak cepat menginstal demokrasi, membentuk pemerintahan baru didikannya, mengorganisasi dan melatih pasukan keamanan sebanyak 300 ribu personel. Membakar lebih dari 14 ribu T, melebihi data fiktif di kantong pakde alias Bung Jae.
TaIiban dipukul ke daerah pegunungan dan pelosok. Diincar pesawat pembom siluman, drone dan detektor inframerah atau suhu tubuh. Jika senjatanya seimbang, 1 juta tentara terlatih Amerika dikirim ke Afghanistan pun bisa dipulangkan dalam peti mati.
Namun sebagaimana teori sosial, sebuah kelompok perjuangan tak bisa dimatikan jika mereka memiliki dukungan dari masyarakat. Biarpun dimonsterisasi sebagai teroris, apakah warga mau diteroriskan juga? Harus digenosida semua? Ooh..tidak bisa bung!
Semenjak 2013 Om Bama menghapus ThaIiban dari keterkaitan apapun dengan terorisme. Mereka menjadi kelompok bersenjata biasa yang punya tujuan sosial dan politik. Bebas buka kantor di luar negeri.
Kaderisasi ThaIiban terus menanjak mulus. Bayangkan, 13 tahun diserang Amerika, tapi anggota aktifnya malah melonjak 3-4 kali lipat menjadi 60 ribu orang.
Masyarakat lokal tidak peduli dengan laporan berita di CNN, NBC, Foxnews, BBC dan BuzzeRp tentang monsterisasi ThaIiban. “Saya dapat keadilan, agama saya dijaga, keamanan dijaga, hak-hak ditunaikan ya saya dukung”.
TaIiban tidak tebang pilih seperti rezim gotong royong. Anggotanya sendiri dihukum. Jika ada warga jadi korban dari anggotanya dikasih ganti rugi atau diyat. Pengadilan ThaIiban tak perlu gedung. Di pinggir sawah pun jadi. Catatannya pun tidak perlu di laptop dan server, buku tulis anak SD pun jadi. Yang penting warga puas atas keputusan hakim yang cepat dan tepat.
Sebaliknya di kubu Amerika, pemerintah Afghan ternyata keropos. Korupsi akut dimana-mana. Angkatan Bersenjata kopong. Banyak komandan cuma mau jatah rutin. Caranya kreatif, yaitu bikin tentara fiktif. Gajinya turun, orangnya tidak ada. Duitnya dipakai bancakan komandan.
Tambah lagi serangan drone yang memakan korban sipil, bikin warga sipil dongkol.
Inilah yang dialami pak Najibullah 8 tahun lalu. Saat ngeteh bareng ThaIiban beliau bercerita. Dulu Amerika menghajar rumahnya dengan rudal dari drone. Membunuh anaknya yang sedang tidur. Total 5 orang meninggal di tempat. Rugi nyawa, rugi rumah.
Pak Najibullah mau nuntut kemana? Kalau pelakunya kelompok militan, mungkin beliau bisa meniru Malala Pakistan yang nongol di PBB dan terus bercerita saat jadi korban TTP. Diliput media Barat dan bisa Playing Victim untuk menggalang simpati ke seluruh dunia. Lah, ini yang ngebom Amerika. Paling jauh dianggap “collateral damage” atau justru dibalik, mereka dituduh sebagai “human shield”-nya ThaIiban.
Amerika kemudian meniru amalan yang dikerjakan TaIiban, yaitu membayar ganti rugi korban sipil. Terlambat Oom. Masak sudah belasan tahun bunuh orang dimana-mana, baru tahu diri kemudian.
Hari ini pak Najibullah seperti jutaan rakyat Afghan lain. Mereka sudah nyaman menjadikan anggota ThaIiban sebagai teman ngeteh atau makan gorengan.
Seorang pedagang pasar di desa TaIiban malah lebih keras lagi kritiknya: di TaIiban cuma dibebani zakat 2,5%, itupun yang kaya; sedang di wilayah pemerintah boneka Asraf Ghani, tekornya berkali lipat. Banyak pungli dan bejibun tikus pemeras!
Isu-isu negatif tentang kekejaman Thaliban pasca memasuki istana Afghanistan, terbantah semua. Termasuk yang katanya perempuan tidak boleh sekolah. Pemaksaan burqa dan sebagainya. Lha wong anak-anak perempuan ThaIiban sendiri malah belajar matematika di kelas-kelas yang diajar pak guru.
Diutamakan guru perempuan untuk anak perempuan sih, tapi jika di suatu pelajaran hanya ada guru laki-laki, ya tidak masalah. Toh muridnya masih di bawah 10 tahun.
Selama belum baligh mereka bebas tidak berjilbab, atau hanya pakai jilbab kecil. Tidak ada mereka dipakaikan burqa sejak kecil.
Kritik yang cukup absurd, TaIiban disalahkan ketika dulu tidak ada sekolah untuk anak perempuan. Tapi tidak ada yang kasih sumbangan untuk bikin sekolah khusus perempuan, sekaligus kirim gurunya. Ibarat ada suku pedalaman tidak punya sekolah. Hanya anak laki-laki yang diajari oleh tetua suku. Bukannya kasih duit untuk bangun sekolah dengan menyesuaikan budaya asli dan kirim guru, malah mengkritik suku itu suka menindas anak perempuan.
TaIiban sendiri bukan kelompok malaikat, mereka juga punya kesalahan. Anggotanya bisa berbuat zhalim. Akan tetapi ada yang membedakan. Jika seorang warga merasa terzhalimi lalu mengancam ThaIiban, “saya akan tuntut ini di akhirat jika tidak diselesaikan sekarang”, maka sudah pasti para komandan dan tokohnya turun tangan berusaha memberikan keadilan, sebab mereka bisa ditakut-takuti, yaitu takut Allah.
Kembali ke politik negara itu. Amerika mau pulang kampung, kabur ketar-ketir. Berebut naik pesawat bersama pengkhianat binaan mereka. Sadar diri kemampuan, selama 20 tahun usaha Amerika memang gagal. AS ini persis Khawarij ISIS loh. Mereka datang ke suatu negara untuk menginstal paksa sebuah sistem tanpa memperhitungkan dukungan masyarakat. Hasilnya pasti boncos. Masyarakat rugi dan jadi korban, dia rugi, pendukung juga rugi, tetangga pun repot.
Dari Hamid Karzai diganti Ashraf Ghani. Yang paling memalukan adalah pemilu presiden 2019. Peserta nyoblos cuma 1,8 juta dari seharusnya 20 juta orang dewasa Afghanistan. Atau cuma 9%-nya. Ashraf Ghani dapat 900 ribu suara dan dinyatakan menang.
Tentara tidak punya motivasi dan moral tempur. Buat apa mati demi petinggi-petinggi korup yang netek ke Amerika. Amerika pergi, dapat apa lagi?
Mending memakai asas manfaat, siapapun yang menang, termasuk TaIiban, ngikut…