Oleh: Salim A. Fillah
Atas berkat rahmat Allah, demikian Sultan Hamengkubuwono IX mengisahkan dalam Takhta untuk Rakyat, beliau selamat dalam misi khusus dari Yogyakarta ke Surabaya jelang pertempuran 10 November 1945.
Tidak banyak yang tahu bahwa kala itu beliau secara incognito meninjau keadaan wilayah Bang Wetan yang sedang genting sambil mengonsolidasi laskar-laskar rakyat dengan TKR yang baru terbentuk. Ketika itu banyak bandit bayaran baik yang bekerja untuk Belanda maupun untuk PKI menyebar untuk membunuh beliau. “Mana yang namanya Dorojatun?”, pertanyaan itu sering terdengar di berbagai penghadangan.
Beliau yang diincar selamat, tapi rekan seperjalanan berbeda mobil, Gubernur Jawa Timur, Raden Mas Suryo gugur di Ngawi oleh bandit PKI.
Dalam masa itu, peran para Pandu yang selama ini sangat mengenal Sri Sultan sebagai tokoh panutan mereka sangat besar. Kelak ketika nama ‘Pandu’ atau ‘Pathfinder’ diidentikkan oleh Presiden Soekarno sebagai ‘kebarat-baratan’ dan ‘berbau neo imperialisme dan kolonialisme’, sementara Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Prof. Prijono dicurigai akan memakai nama ‘Pemuda Perintis’ yang dianggap berbau Komunis, maka Sri Sultan mengusulkan nama jalan tengah, PRAMUKA.
Kata “Pramuka” merupakan singkatan dari Praja Muda Karana, yang memiliki arti Jiwa Muda yang Suka Berkarya. Tapi sebelum singkatan ini ditetapkan, kata Pramuka asalnya diambil oleh Sultan Hamengkubuwono IX dari kata “PARA MUKA” yang berarti pasukan terdepan dalam perang. Persis yang beliau temui dalam masa Revolusi Fisik 1945-1950 di garis depan perjuangan.
Bahkan Panglima Tentara kebanggaan Indonesia yang memimpin gerilya, Soedirman juga seorang ‘Para Muka’. Berani memimpin di garis depan. Latar belakang beliau adalah seorang Pandu Hizbul Wathan Muhammadiyah.
Selamat Ulang Tahun Gerakan Pramuka. Semoga selalu dalam semangat “Satyaku kudarmakan. Darmaku kubaktikan. Agar jaya Indonesiaaa… Indonesia, Tanah Airku. Kami jadi Pandumu!”
___