Oleh: Joko Intarto
Ini ide bisnis yang lebih konkret. Setelah sebulan di Grobogan. Menamani ibu saya yang sedang sakit (sekarang dirawat di ICU RS Permata Bunda). Setelah mengamati dengan berbagai perspektif, ketemu ide bisnis sederhana: Membuat usaha kecil tempe dan tahu berbahan kedelai lokal varietas Grobogan yang terkenal bergizi tinggi itu.
Tenaga pembuat tempe dan tahunya sudah ada. Ia bekerja di pabrik tahu dan tempe. Sudah sanggup memproduksi sendiri di rumah. Sepulang kerja dari pabrik.
Volumenya kan belum banyak. Dimulai dari 2 Kg – 3 Kg dulu. Untuk menghasilkan beberapa varian tempe, mulai tempe sayur, tempe wudo (goreng) sampai tempe kemul dan tempe mendoan.
Sudah ada yang mau memasarkan. Mahasiswa yang sejak tahun lalu kuliahnya daring. Waktu menganggurnya banyak. Bisa mencoba berbagai strategi penjualan, baik direct selling maupun menggunakan channel warung dan pedagang keliling.
Merk produknya sudah saya temuka. Tempe Tahu Mbah Bayan. Itu jabatan simbah saya: Bayan. Panggilan dari Jogo Boyo. Orang yang bertanggung jawab terhadap ketenteraman desa.
Yang tidak kalah penting adalah kualitas produknya. Tempe Tahu Mbah Bayan akan menggunakan kedelai Grobogan yang berkualitas food. Artinya bahan pangan yang layak dikonsumsi manusia. Bukan kedelai berkualitas feed, bahan pangan untuk ternak.
”Yakin bisa jalan, Om?” tanya keponakan saya.
”Yakinlah. Bisnis itu dimulai dengan keyakinan. Bukan dimulai dengan kekhawatiran,” jawab saya.
Risiko bisnis itu paling berat adalah bangkrut. Selama kita berani bangkrut, kegagalan dalam bisnis itu tidak membuat sakit. Malah membikin kita cerdas. Anggap saja kalau gagal, kerugiannya dimasukkan sebagai biaya kursus: Kursus bisnis tempe dan tahu.
Saya ingat betul pengalaman mengelola koran harian ”Mercusuar” di Palu, Sulawesi Tengah, tahun 1993. Enam tahun saya di sana. Dari bujangan hingga menikah dan punya anak satu.
Ketika berangkat ke Palu, saya bahkan tidak tahu apa-apa tentang bisnis koran. Memang saat mahasiswa saya pernah menjadi agen majalah dan koran. Tetapi bisnis yang saya pahami hanya menjual produk. Sebagai agen.
Sedangkan di Palu, saya harus membuat produk koran: Mengelola redaksi, percetakan dan distribusi koran. Pengalaman sebagai agen menyumbang 10 persen. Pengalaman menjadi wartawan berkontribusi 10 persen. Yang 80 persen masih blank!
Mirip dengan keponakan saya, saat itu saya juga bertanya kepada Pak Dahlan Iskan. ”Bagaimana kalau saya gagal?”
Saya tanya seperti itu, Pak Dahlan menjawab dengan enteng. ”Tidak apa-apa gagal. Anggap saja biaya kursus Anda kelewat mahal. Yang penting, gagal bukan karena Anda malas belajar. Gagal bukan karena Anda korupsi,” jawabnya.
Mengelola bisnis koran harian bertaruh uang miliaran rupiah. Sementara mengelola bisnis tempe itu tidak ada apa-apanya. Apalagi volumenya baru 2 Kg – 3 Kg saja. Mengajarkan sikap menjadi pengusaha jauh lebih bernilai dibanding kerugiannya sendiri. Kursus terbaiknya adalah menjalankan bisnis. Bukan rajin ikut seminar motivasi.