Oleh: davy Byanca
Di komunitas dzikir Majelis Azzikra, saya termasuk jama’ah yang agak lari dari ”pakem.” Mengapa? Karena saya jarang memakai pakaian putih-putih seperti yang dikenakan oleh jama’ah dalam setiap dzikir. Saya termasuk penggemar pakaian hitam-hitam. Kalau pun ”harus” menggunakan pakaian putih-putih, saya menutupnya dengan rompi hitam. Jadi nuansa hitamnya harus tetap ada.
Pasalnya, saya menganggap pakaian itu hanya bersifat seremonial dan saya termasuk orang yang kurang tertarik dengan hal itu. Pakaian putih-putih buat saya adalah sebuah simbol belaka. Di samping itu, saya sadar bahwa hati saya pun belum ”putih-putih” amat, karena masih banyak sifat hewani dan syaitan yang mengganggu diri saya.
Tetapi pakaian adalah pakaian. Ia sejatinya adalah busana yang diperintahkan untuk menutup aurat. Hanya sebagian kecil manusia di muka bumi ini yang belum mengenal budaya berpakaian. Artinya, sebagian besar penduduk bumi membutuhkan pakaian. Masalahnya, apakah pakaian itu digunakan untuk menutup aurat atau sekadarnya?
Kita sepakat bahwa Islam mewajibkan umatnya utk menutup aurat. Bagi kaum wanita disyariatkan untuk berhijab. Perintah itu tertulis secara jelas di dalam al-Qur’an, bahkan orang awam pun dapat memahaminya, tanpa memerlukan penafsiran dari para ulama. Perintah itupun ditujukan bagi seluruh umat Muhammad saw, baik orang Arab dan non-Arab.
Islam bukanlah agama yang mengajari pengikutnya untuk tampil lusuh dan mengenaskan. Bahkan memakai pakaian halus, mengkonsumsi makanan yang lezat, dan minuman yang segar tidak akan memunculkan celaan dari Allah, jika disertai dengan rasa syukur kepada-Nya. Hanya saja Islam memandang pakaian batiniah lebih utama ketimbang pakaian lahiriah. Namun keduanya harus dirawat dan dibersihkan.
Apakah yang dimaksud dengan pakaian batiniah? Syaikh Abu al-Hasan berkata, ”Tadi malam adalah malam yang agung, laylatul qadr. Aku melihat Rasulullah saw berkata kepadaku, ”Wahai Ali, sucikanlah pakaianmu dari kotoran, niscaya kau memperoleh pertolongan Allah swt pada setiap embusan nafas!” Aku bertanya, ”Wahai Rasulullah, apa pakaianku itu?” Nabi saw menjawab, ”Ketahuilah Allah telah menganugerahkan kepadamu lima pakaian: mahabbah (cinta), makrifat, tauhid, iman, dan Islam. Siapa yang mencintai Allah, segala sesuatu ringan baginya. Siapa yang mengenal Allah, segala sesuatu kecil baginya. Siapa yang mengesakan Allah, ia takkan menyekutukan-Nya. Siapa yang beriman kepada Allah, ia akan merasa aman dari segala sesuatu. Dan siapa yang menyerahkan diri kepada Allah, maksiatnya pasti berkurang. Kendatipun tergelincir ke dalam maksiat, segera ia meminta ampunan kepada-Nya. Jika ia meminta ampun, pasti Dia mengampuninya.’ Ketika itulah baru aku memahami firman Allah swt, ‘Dan pakaianmu hendaknya kamu bersihkan!”
Kita hidup di negeri yang mayoritas Muslim, tetapi sedikit sekali wanita yang peduli dan menghormati kekayaan serta keindahan tubuhnya. Apakah mereka pikir, penghargaan yang diberikan orang terhadap keindahan tubuhnya -lantas dieksploitasi atas nama seni, merupakan sebuah kehormatan? Sungguh mereka telah keliru. Betul, Allah telah mengkaruniai dan memberikan hak kepada mata untuk memandang. Tetapi bukankah Dia juga membatasi kemampuan mata kita untuk tidak dapat melihat hal-hal yang ghaib? Bukankah begitu banyak kekayaan-Nya yang masih diselimuti oleh tabir rahasia-Nya? Seperti cahaya matahari yang tertutup awan dan wanita cantik yang ditutupi jilbab. Bukankah kekayaan yang berharga harus disimpan dan rahasia utama mesti dijaga?
Karena itu, mari kita bersihkan pakaian lahiriah dan batiniah kita, bukankah Allah senang dengan orang-orang yang bersih, “Janganlah kamu bersembahyang dalam masjid itu selama-lamanya. Sesungguh-Nya masjid yang didirikan atas dasar taqwa (mesjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu shalat di dalamnya. Di dalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bersih.” QS at-Taubah [9]: 108.
Senandung Rumi berbisik lirih ‘hari kemarin telah berlalu dan ceritanya sudah diceritakan. Hari ini benih-benih baru tumbuh’. Tak ada kata terlambat. Cuci dan sucikanlah pakaianmu duhai sahabat akheratku.