Oleh: Davy Byanca
Suatu hari, ketika Nabi Musa as turun dari Gunung Sinai, seseorang bertanya, ”Apakah engkau bisa mengundang Tuhan untuk datang dan makan malam bersama kami?” Musa as menjawab dengan marah, ”Kita tidak bisa mengudang Tuhan untuk makan malam. Tuhan tidak makan malam. Tuhan tidak terbatas. Tuhan melampaui batasan kebutuhan akan makanan. Selain itu, Tuhan tidak memiliki mulut. Tuhan jauh melampaui bentuk ragawi manusia! Tuhan tidak seperti kamu dan aku. Tuhan ada di mana-mana dan Tuhan adalah segalanya.”
”Oh, jadi engkau yakin bahwa kita tak bisa mengundang Tuhan untuk makan malam bersama kita?” ”Ya,” jawabnya.
Ketika Nabi Musa as kembali ke Gunung Sinai, Tuhan bertanya tentang undangan tersebut. Musa as berkata, ”Aku bilang bahwa Kau tidak dapat makan.” Tuhan berkata, ”Tidak, Musa. Kembalilah dan katakan kepada mereka untuk menyiapkan pesta besok sore dan Aku akan datang.”
Perasaan Musa as campur aduk. Dia membayangkan bagaimana harus kembali dan mengatakan kepada kaumnya bahwa ia salah, bahwa Tuhan akan datang untuk makan malam bersama mereka. Padahal sebelumnya telah mengatakan dengan tegas bahwa Tuhan tidak punya mulut, Tuhan tidak makan dan minum, dan Tuhan tak semestinya dianggap sebagai manusia. Tentu ini hal berat baginya, namun perintah Tuhan harus dilaksanakan. Pesan-Nya harus ditunaikan.
Mendengar kabar itu, semua orang senang. Mereka pun menyiapkan sebuah pesta besar keesokan harinya. Para juru masak membuat hidangan terbaik. Semua orang sibuk menyiapkan pesta tersebut. Di tengah persiapan pesta, seorang lelaki tua datang seraya bertanya apakah ia bisa mendapatkan makanan atau minuman? Musa as menjawab, ”Tuhan akan datang untuk makan malam. Tunggu sampai Tuhan datang. Tak seorang pun boleh makan sebelum Tuhan datang!” Para juru masak pun menyuruh lelaki tua itu bekerja mengambil air.
Waktunya makan malam tiba dan berlalu, tetapi Tuhan tidak muncul juga. Malam makin larut. Makanan mulai dingin. Dan orang-orang pun mengeluh kepada Musa as, ”Pertama engkau mengatakan bahwa Tuhan tidak makan, lalu kaubilang Tuhan akan datang untuk makan malam bersama kita, dan ternyata sampai sekarang Tuhan belum juga muncul. Nabi macam apa kau?” Nabi Musa as yang malang diam seribu bahasa.
Esok harinya, Musa as kembali ke Gunung Sinai dan mengeluh, ”Wahai Tuhan, aku sudah bilang kepada kaumku bahwa Engkau tidak makan. Tetapi Engkau mengatakan akan datang makan malam, tetapi Engkau tidak muncul.”
”Aku sudah datang, hai Musa. Aku kehausan dan kelaparan, tetapi tidak seorang pun memberiku sesuatu untuk dimakan dan diminum. Lelaki tua yang datang dari gurun pasir adalah salah satu hamba-Ku dan ketika kalian memberi makan hamba-Ku, kalian memberi-Ku makan; ketika kalian melayani hamba-Ku, kalian melayani-Ku.”
Nabi Musa as pun tersungkur memohon ampunan dari Tuhan, menyadari betapa bodoh dan naif dirinya.
Hidup ini sementara, akherat selamanya. Berbagilah kepada sesama, apalagi di masa sulit seperti ini. Aku tahu kita dalam keadaan susah, tapi di luaran sana banyak saudara kita yang lebih susah hidupnya. Yang tak sempat bermedsos ria, yang tak sekadar pajang foto manis dengan caption ‘menderita’, yang ujung-ujungnya minta dibeliin pulsa.
Keep positive, Allah loves you,