Oleh: Doni Riw
Buruk muka cermin dibelah, itu peribahasa masa lalu. Jaman sekarang, buruk muka pakai kamera jahat. Cakep di citra layar, buruk di kenyataan.
Kamera jahat adalah produk peradaban ultramodern yang gemar merayakan budaya permukaan. Muka buruk bukan diperbaiki, malah menutupi diri dengan tipu-tipu.
Para ABG pemakai kamera jahat itu sesungguhnya terinspirasi dari para pembesar negeri.
Tabiat buruk bukan ditobati, malah aturannya yang diganti. Double jabatan dilanggar, ketahuan, dijawab dengan bikin aturan baru. Begitulah tabiat demokrasi.
Tak suka pada organisasi oposisi yang tak bisa dibubarkan karena tak melanggar aturan, maka buat saja perpu baru untuk membubarkan. Itulah demokrasi. Demokrasi memang punya konstitusi, tapi kalau penguasa butuh melanggar, tinggal ganti saja itu konstitusi kapanpun mereka suka. Selesai perkara.
Kalau rakyat protes, proteslah sesuai prosedur konstitusi. Suruh tunggu pemilu berikutnya. Nanti di pemilu berikutnya, gampang saja dikibuli lagi pakai kotak kardus gembok besi.
Demokrasi adalah menyerahkan pembuatan hukum dan aturan pada manusia yang bergelar legislatif dan eksekutif. Maka hukum dan aturan yang dibuat, pasti sesuai dengan kepentingan mereka sendiri.
Hal ini berbeda dengan sistem Islam, sistem Syariah, sistem Khilafah. Sistem Islam menyerahkan kedaulatan hukum pada Allah Ta’ala.
Oleh karenanya, sebesar apapun kekuasaan seorang Khalifah, dia tidak akan bisa membuat hukum dan aturan yang mementingkan diri sendiri. Bahkan dia tidak bisa membuat aturan yang merugikan orang kafir sekalipun. Karena dalam sistem Islam, hukum sudah pasti dari Ilahi Robbi.
Sementara hukumNya tidak mungkin mementingkan segelintir manusia. Karena Dialah Sang Pencipta semua manusia. Muslim mapun kafir.
Kalau peradaban demokrasi memang peradaban kamera jahat. Indah di layar ponsel, jahat di realitas.