Oleh: Davy Byanca
Aku suka mengutip salah satu pesan yang disampaikan oleh Stephen R. Covey, yaitu, “Begin with the end in mind” atau mulailah sebuah perjalanan dengan tujuan akhirnya. Beliau mengawali pesan itu dengan sebuah cerita yang mengajak para pembaca berfikir, “Apa pesan dan kesan yang ingin Anda dengar dari orang-orang yang Anda kenal pada hari pemakaman Anda?” Pertanyaan yang tidak wajar memang, tapi cukup sulit untuk dijawab.
Dalam pelatihan Living Smart, kadang ada sessi di mana peserta kuajak untuk merenung sejenak dan menulis di secarik kertas: jika hidup Anda akan berakhir esok pagi, apa yang Anda sesali karena belum Anda lakukan? Jika hari ini adalah hari terakhir dalam hidup Anda, akankah Anda menghabiskannya seperti Anda menghabiskannya pada hari ini?
Banyak yang tidak sadar bahwa perjalanan hidup kita itu, dimulai dengan sebuah pilihan untuk bangun melangkah, dan menjalani hidup sepenuhnya. Sama halnya dengan ‘cetak biru’ sebuah pembangunan. Tanpa “cetak biru” biasanya proses pembangunan tidak akan dimulai, apalagi selesai. Begitu juga dengan tujuan hidup. Tanpa pernah digambarkan di pikiran, kita takkan pernah mengambil tindakan untuk memulai, apalagi meraih tujuan.
Artinya, jika kita tidak memiliki “tujuan akhir” dalam hidup, apalagi tak mampu memvisualisasikan apa yang kita inginkan dalam hidup, maka secara tidak langsung, kita telah mengizinkan orang lain, bahkan dunia untuk mengatur rencana hidup kita. Orang lainlah yang akan menjadi sutradara atas hidup kita. Kita hanyalah seorang pelakon murahan yang kadang membenci peran yang diskenariokan.
Itulah mengapa hidup akan menjadi bermakna jika kita tahu dan faham ‘untuk apa kita hidup dan hendak dibawa kemana hidup kita.’ Semua muslim mestinya faham bahwa hidupnya semata hanya untuk mengabdi kepada Sang Pencipta. Maka, dia jadikan dunia sebagai tempat beribadah sebagai bentuk ketaatan dan ketundukkan kepada-Nya. Dia sadar bahwa bumi setiap saat akan mentertawakan dirinya jika ia melenceng dari fitrah pengabdiannya itu.
Ahmad bin Harb berkata, “Bumi ini heran kepada dua orang saja. Pertama, ia heran kepada orang yang merapikan tempat tidurnya lalu beranjak tidur di atas kasurnya. Bumi akan berkata kepadanya. ‘Mengapa kamu tidak menyadari lamanya penderitaanmu di dalam diriku (tanah) tanpa kasur setelah mati!’ Kedua, bumi heran kepada orang-orang yang bertengkar dengan saudaranya karena masalah sebidang tanah. Bumi akan berkata kepadanya, ‘Mengapa kalian tidak berpikir tentang para tuan tanah sebelum kalian, betapa banyak orang memiliki tanah, tetapi tidak sempat mereka nikmati!”
Setiap orang yang pernah ‘dekat’ dengan kematian bisa memberi kesaksian bahwa di akhir hidupnya -dapat dipastikan, tidak akan punya waktu untuk mengingat berapa banyak pekerjaan yang belum terselesaikan, atau seberapa banyak tabungannya.
Pertanyaan-pertanyaan yang masih bertahan adalah “kalau saja ..”, seperti: ‘kalau saja aku diberi kesempatan untuk meneruskan hidup, akan kugunakan untuk bertaubat dan berbuat baik serta beribadah kepada-Nya.’ Begitulah. Hidup sejatinya butuh “cetak biru”.
Aargghhh … hari kemarin telah berlalu dan kisahnya sudah diceitakan. Insya Allah hari ini kita tumbuhkan benih-benih baru ..