Oleh: Satria Hadi Lubis
Dua orang kakak beradik, semula hidupnya sangat rukun, tetapi akhirnya terjatuh dalam pertengkaran serius, hanya karena kesalah pahaman kecil di antara keduanya. Padahal selama 40 tahun mereka hidup damai harmonis berdampingan, tanpa pernah ada konflik menegangkan.
Suatu pagi, lewatlah seorang tukang kayu, mengetuk rumah sang kakak. “Maaf tuan, saya sedang mencari pekerjaan,” kata pria itu dengan ramah. “Barangkali tuan berkenan memberikan pekerjaan untuk saya selesaikan.”
“Oh ya!” jawab sang kakak. “Saya punya pekerjaan untukmu. Kau lihat ladang di seberang sungai sana. Itu adalah rumah tetanggaku. Ah, sebetulnya ia adalah adikku.”
“Minggu lalu ia mengeruk bendungan, lalu mengalirkan airnya ke tengah padang rumput itu, sehingga menjadi sungai yang memisahkan tanah kami.”
“Hmm, barangkali ia memang sengaja ingin mengejekku, tapi aku akan membalasnya setimpal.
Di situ ada gundukan kayu, aku ingin kau membuat pagar setinggi 10 meter untukku, sehingga aku tidak perlu lagi melihat rumahnya. Pokoknya, aku ingin melupakannya,” ungkap sang kakak kepada tukang kayu itu.
Kata tukang kayu, “Saya mengerti Tuan. Akan saya kerjakan sesuatu yang bisa membuat hati tuan merasa senang.”
Sang kakak meninggalkan tukang kayu itu untuk bekerja sendirian. Di sore hari, ketika ia kembali, tukang kayu itu baru saja menyelesaikan pekerjaannya. Betapa terbelalaknya ia begitu melihat hasil pekerjaan tukang kayu itu.
Sama sekali tidak ada pagar kayu sebagaimana yang dimintanya. Yang ada malah sebuah jembatan kayu yang melintasi sungai yang menghubungkan ladang pertaniannya dengan ladang milik adiknya. Jembatan itu tampak begitu indah dengan undak-undakan yang tertata rapi.
Dari seberang, terlihat sang adik bergegas menaiki jembatan itu dengan kedua tangannya terbuka lebar. “Kakakku, kau sungguh baik hati mau membuatkan jembatan ini. Padahal sikap dan ucapanku telah menyakiti hatimu. Maafkan aku, Kak”
Dua bersaudara itu pun bertemu di tengah jembatan, saling berjabat tangan dan berpelukan.
Segala perselisihan paham dan curiga akhirnya luntur di tengah jembatan. Api amarah dan kebencian di antara keduanya telah padam, digantikan dengan hangatnya jalinan hati kasih.
Melihat itu, tukang kayu pun membenahi perkakasnya dan bersiap untuk pergi. “Hai, jangan pergi dulu. Tinggallah beberapa hari. Kami punya banyak pekerjaan untukmu,” pinta sang kakak.
“Sesungguhnya saya ingin sekali tinggal di sini,” kata tukang kayu, “tapi masih banyak jembatan lain yang harus saya selesaikan.”
Demikianlah dalam hidup kita. Hendaknya kita bisa menjadikan diri, sebagai jembatan untuk menumbuhkan kasih dan persaudaraan dalam lingkungan keluarga kita. Hendaknya kita bisa menjadi jembatan, untuk menumbuhkan semangat persahabatan di dalam lingkungan sekitar, di kantor dan di komunitas kita.
Hidup akan terasa indah, bila semuanya hidup harmonis, tenang dan damai, tanpa pertikaian, percekcokan, pertengkaran dan pertentangan, yang tidak ada habis-habisnya. Rasa persaudaraan dan persahabatan yang dilandasi dengan semangat kasih, akan mendatangkan kebahagiaan dan kegembiraan hidup bagi kita semua.
Mari tumbuhkan dan pererat tali persaudaraan dan hubungan persahabatan, agar makin bertambah erat selamanya. Persaudaraan, persahabatan tanpa tepi.