Kisah 15 Tahun Lalu
Oleh: Davy Byanca
Sulaiman, begitulah ia memperkenalkan dirinya saat bertemu saya di Bali. Pertemuan kami betul-betul merupakan rahmat dari Allah swt, tak ada yang kebetulan. Derry Sulaiman yang saya kenal saat itu adalah pelukis muda berbakat, yang menghabiskan waktunya berdakwah di Bali. Ia membuka galeri lukisan di daerah Kuta dan Seminyak. Sebagai muslim, ia istiqamah dengan surban, janggut, dan gamisnya. Sebuah pemandangan yang unik untuk kawasan Kuta yang didominasi oleh turis asing yang berpakaian sekenanya.
Suatu kali, saya diundang ke galerinya. Sulaiman banyak bercerita soal perjalanan ruhaninya. Bagaimana ia yang nota bene pentolan anak band underground di Jakarta, akhirnya bisa hijrah ke dunia yang lurus dan benar, bagaimana ia menghabiskan masa kecilnya di Minang, belajar dengan ayahanda yang berprofesi sebagai guru agama. Soal cita-citanya yang ingin menjadi artis terkenal, dan bagaimana akhirnya ia terdampar di Bali. Profil tentang dirinya akhirnya saya angkat di majalah Azzikra. Sesekali, tamu bule datang melihat dan mengomentari lukisan-lukisannya yang bertemakan Islami. Uniknya lagi, lukisan asma’ul husna adalah lukisan yang paling banyak dibeli, selain lukisan khas Sulaiman, whirling dance, tarian putar sang sufi.
Derry (begitu akhirnya aku menyapanya) berkata, ”Bang, saya beruntung karena di usia muda ini Allah menegur saya. Semua cita-cita ingin menjadi artis aku kubur habis, karena ternyata dengan menaati Allah dan Rasul-Nya saya mendapatkan kenikmatan luar biasa, mengalahkan kenikmatan saat tampil di panggung, dielu-elukan ribuan fans.” Taat kepada Allah dan Rasul-Nya adalah sebuah kata kunci. Kunci inilah yang membawa para Nabi dan wali Allah masuk ke dalam gerbang keimanan yang luar biasa. Siapa pun dia, apa pun profesinya dan kedudukannya, niscaya memerlukan kunci ketaatan ini.
Begitulah hidup. Setelah berputar kesana kemari, mencari nafkah, membanting tulang, mengejar titel dan harta, ujung-ujungnya yang dibutuhkan hanyalah kenikmatan bercinta dengan Sang Maha Pecinta. Menarik sekali membaca ilustrasi yang disampaikan oleh Rumi, ”Dalam diri kita terdapat banyak hal. Ada tikus dalam diri kita, ada burung. Burung membawa sangkar ke atas, sedangkan tikus menggali ke bawah. Seratus ribu binatang buas yang berbeda berkumpul bersama dalam diri kita, tetapi mereka semua bertemu di sebuah masa ketika tikus akan membuang ketikusannya dan burung membuang keburungannya, dan semua menjadi satu. Karena tujuannya bukanlah naik ke atas atau ke bawah. Ketika tujuan menunjukkan dirinya dengan jelas, ia tidak di atas ataupun di bawah.”
Setiap manusia adalah musafir. Di mana saja ia berkemah, disediakan baginya rumah atau tempat yang menyenangkan. Karena tak ada gurun pasir atau tanah kosong di jalan Allah swt. Setiap situasi adalah mudah baginya; para hamba dan penolong akan memudahkan kedatangan dan kepergiannya. Jika Anda yakin dengan ini semua, artinya Anda sudah mulai menemukan kunci menuju ketaatan. Pemahaman semua milik Allah dan akan kembali kepada-Nya masih terbersit di dalam hati Anda. Karena itu, pada akhirnya saya bisa memahami perjalanan spiritual Sulaiman. Saya pun bisa memahami saat seorang wanita muda atheis berkebangsaan Spanyol memborong 8 lukisan Derry, 4 di antaranya bertemakan asma’ul husna. Sebab, fitrah berketuhanan tak akan pernah hilang di dalam hati hamba-Nya.
Ternyata di Bali saya menemukan banyak pembelajaran lagi untuk mengenal Allah. Dia menurunkan tangan-Nya untuk memperjumpakan diriku dengan Derry dan gadis Spanyol itu, mereka telah meneguhkan hatiku agar tetap berdiri di atas rel ketaatan pada Allah dan Rasul-Nya. Saya pikir, inilah salah satu cara Allah menuntun agar setiap manusia yakin, bumi ini adalah rumah dan hamparan sajadah bagi kita, di mana pun kita berada, dan rezeki-Nya akan terus berlimpah, dari pintu mana saja.
Menutup cerita ini, saya ajak Anda untuk merenungkan ucapan Sahl bin ’Abdullah, ”Seorang hamba dalam segala keadaan, harus berjalan menuju Tuannya. Tindakan kembalinya, terus-menerus kepada-Nya merupakan keadaan spiritual paling baik dalam diri sang hamba. Manakala dia tidak patuh, dia berkata, ’Ya, Tuhan ampunilah aku.’ Manakala ketidakpatuhannya berakhir, dia mengatakan, ’Ya Tuhan berpalinglah kepadaku.’ Manakala Dia sudah berbuat begitu, sang hamba pun berkata, ’Ya Tuhan, terimalah daku.”
“Time goes fast,” begitu yang disampaikan ustadz Derry Sulaiman pagi ini di IG saya.