Oleh: Davy Byanca
Seorang pelukis, Paul Gaugin berkata, “Saya menutup mata supaya bisa melihat.” Ungkapan ini sangat menarik. Bahasa yang acap saya gunakan dalam pelatihan adalah ‘mata batin’. Dalam setiap pengambilan keputusan atau saat akan mencari rekan bisnis, upayakan untuk menggunakan mata batin. Agar terjalin komunikasi indah dengan menggunakan bahasa batiniah atau komunikasi antar hati. Komunikasi yang terjalin karena adanya frekuensi batiniah antar rekan.
Menurut Azim Jamal, pengarang buku “The Corporate Sufi”, “Kita memerlukan mata batin untuk menembus misteri. Dengan mata batin kita akan menyaksikan misteri hidup yang terbentang luas di hadapan kita. Seperti halnya burung hantu yang dibutakan di siang hari, maka kita pun sesungguhnya telah dibutakan secara spiritual, tak mampu melihat fenomena yang secara faktual memang ada.”
Lagian, kita perlu mempertajam mata batin, karena tak semua yang tergambar dan terpotret oleh mata lahir adalah asli dan orisinil. Ternyata terlalu banyak dusta dan kepalsuan yang kita lihat selama ini. Ingatlah, tidak semua bisa kita lihat dengan mata, kita cium dengan hidung, kita dengar dengan telinga, dan kita rasakan dengan kulit. Bisakah Anda melihat udara yang sedang kita hirup? Bisakah Anda melihat aroma setangkai bunga sedap malam? Bisakan Anda melihat aliran listrik di dalam kabel? Bisakah Anda melihat frekwensi yang menghasilkan suara dan gambar?
Mengasah mata batin berarti mempertajam imajinasi dan intuisi. Melalui intuisi, Anda sanggup membungkam keraguan, kebingungan, dan ketakutan dalam mengambil kendali atas kehidupan Anda. Intuisi yang kuat ternyata sangat membantu para pelaku bisnis meraih kesuksesan, utamanya dalam mencari mitra usaha yang tepat, atau mengambil keputusan bisnis yang akurat.
Melalui mata batin, kita sanggup merasakan masalah orang lain, bahkan berbagi kisah dengan orang lain. Saya menemukan bahwa setiap penjahat –di dalam lubuk hatinya yang paling dalam- pasti merasa bersalah terhadap apa yang telah ia lakukan. Salah seorang dari mereka, yang pernah berumrah bersama saya menceritakannya sambil terisak di depan Ka’bah. Ia berkata tak akan menceritakan kisah kelam ini kecuali hanya kepada orang yang ia percaya. Ia merasakan beban yang berat, siang dan malam, sebelum dengan lepas menceritakannya kepada saya. Saya trenyuh menyimak pengakuan jujurnya, saya merasakan kami telah menyatu dalam bahasa batin yang indah.
Kami terus berteman sampai saat ini. Menariknya, teman kita ini adalah seorang haji, pengusaha dan tokoh terpandang di kawasan Tanjung Priok, sekaligus pembina ormas salah satu etnis di Jakarta, dan memiliki pesantren di kampungnya. Siapa sangka kalau beliau adalah mantan narapidana. Kami dekat karena kami sama-sama menggunakan mata batin untuk menghapus sekat-sekat yang ada. Kami percaya bahwa mata batin adalah mata yang jujur.
Mata batin akan membimbing kita bertemu dengan teman-teman sejati, karena ia menggiring kita untuk melihat sifat-sifat Allah yang ada pada alam semesta dan diri orang lain. Muhammad bin Wasi’ berkata, “Saya tidak pernah sekali pun melihat sesuatu tanpa melihat Allah di dalamnya.”
Matamu, mataku, beradu dalam siklus mata batin setiap saat.