Oleh: Salim A. Fillah
Tersebut dalam hadits yang dicatat Imam Muslim dan Imam Ibn Majah, bahwa Nabi ﷺ tertidur di rumah ‘Ubadah ibn Ash Shamit dan Ummu Haram bint Milhan, kemudian beliau terjaga dan tertawa. Maka bertanyalah sang nyonya rumah, “Apa yang membuatmu tertawa ya Rasulallah?”
Beliau bersabda, “Sekelompok umatku diperlihatkan oleh Allah kepadaku, mereka berperang di jalan Allah mengarungi lautan dengan kapal-kapal, bagaikan para raja di atas singgasananya.”
Adalah para raja Nusantara berjihad di lautan mengamalkan sabda mulia ini, melawan Bangsa Prenggi atau Peranggi.
Kosakata “Prenggi” berasal dari lafal Arab “Franji” untuk menyebut orang-orang “Frank”, kaum Kristiani Eropa yang dihadapi dalam Perang Salib. Orang-orang Prenggi pertama yang mengejutkan Nusantara adalah bangsa Portugis, dengan pendudukan armada Alfonso D’Albuquerque atas gerbang Kepulauan ini, Pelabuhan Malaka pada 1511.
Demak, kekuatan Islam yang sangat menyadari bahaya Prenggi pimpinan ‘Kongso Dalbi’ (sebutan Jawa untuk Alfonso D’Albuquerque) yang membawa misi Gold, Glory, dan Gospel segera bergerak. Pangeran Fathi Yunus, atau dalam Babad disebut Pati Unus dua kali memimpin armada gabungan (Demak, Tuban, Bugis, Cirebon, Banten, Palembang, Jambi, Aceh) berkekuatan ratusan kapal untuk menghantam kedudukan Prenggi di Malaka.
Turut serta dalam peperangan dahsyat ini seorang perempuan hebat yang kelak dicatat sebagai ‘Rosa do Mar do Norte’ alias Mawar Laut Utara oleh Portugis. Dialah Ratu Kalinyamat, yang kelak tertulis dalam Babad ‘bertapa telanjang’, mungkin dalam makna kiasan “menghabiskan seluruh hartanya demi jihad fi sabilillah.”
Setelah terluka parahnya Pangeran Sabrang Lor, Fadhlullah Khan memutuskan menarik mundur armada ini. Fadhlullah, atau Tubagus Pasai Fathullah alias Fatahillah nantinya menikahi dua janda Pati Unus sehingga diapun menjadi menantu Raden Patah sekaligus menantu Sunan Gunung Jati. Sebagai panglima armada gabungan Demak-Cirebon-Banten pada 22 Juni 1527, Fatahillah berhasil mencegah ekspansi Portugis ke Jawa, mengamankan Bandaraya Sunda Kalapa, dan mengubah namanya menjadi Jayakarta.
Dirgahayu, Jayakarta!