Oleh: Doni Riw
Umayah bin Khalaf akhirnya tahu bahwa Bilaal telah ikut arus radikalisme. Sontak pembesar Quraisy Jahiliyah itu murka. Bagaimana bisa sahayanya itu ikut aliran intoleran yang sangat dia benci itu?
Sebagai tokoh berpengaruh, dia akan membuktikan kepada masyarakat tentang kekuasaannya. Dia akan paksa Bilaal untuk kembali kepada ajaran nenek moyangnya. Dia bawa sahaya Afrika itu ke tengah padang pasir yang terbakar cahaya matahari. Tubuh ringkih Bilaal ditelentangkan di bawah terik, ditindih batu besar.
Umayah bin Khalaf sang pejabat Kafir Quraisy Makkah mulai memberi pertanyaan Tes Wawasan Kejahiliyahan (TWK) kepada Bilaal. Di bawah himpitan batu dan pasir panas itu Bilaal ditanya :
“Pilih Hubal atau Al Quran?”
Dengan lirih Bilaal menjawab: “Ahad.”
Sebagai ganjaran atas jawaban itu, Umayah mencambuk kulit Bilaal berkali-kali.
Umayah tahu maksud Bilaal. Bahwa jawaban itu berarti Allahu Ahad. Hanya ada Allah di hati Bilaal. Tak ada ruang untuk Hubal, Lat, Uzza, atau apapun yang lain.
Bagi Umayah bin Khalaf, Abu Jahal, Abu Lahab, dan seluruh pejabat serta tokoh Makah, ajaran yang diperjuangkan Muhammad SAW dan seluruh pengikutnya, termasuk Bilaal, adalah penghianatan kepada Amru bin Luhay, bapak penggagas berhala di Makkah.
Bilaal masih ditindih batu besar di atas padang pasir. Setelah Umayah berkali-kali gagal memaksa Bilaal untuk memilih Hubal, akhirnya Umayah justru memohon.
“Ayolah, katakan kau lebih memilih Hubal.”
Tapi lagi-lagi Bilaal menjawab: “Ahad.”
Umayah mulai frustasi karena merasa kehilangan muka. Bagaimana bisa, budaknya sendiri saja tak mau patuh disuruh memilih Hubal?
Umayah terus mencambuk Bilaal yang tak lulus TWK itu.
Meski Umayah yang mencambuk Bilaal, tapi sesuguhnya Bilaal-lah pemenangnya. Bilaal sukses mempertahankan kebenaran. Kelak kebenaran itulah yang menyelamatkannya. Sedangkan Umayah bin Khalaf mempertahankan harga diri, berhala, serta ajaran nenek moyang yang keliru. Kelak itulah yang menjerumuskannya ke neraka.