Oleh: Doni Riw
Ini adalah era post truth, dimana kebenaran tampak ruwet dan absurd. Tak hanya awam, cerdik pandaipun bisa hanyut, jika di hatinya berselimut hasad dan hasut. Fakta direduksi menjadi berita. Asal dikabarkan media kanal penguasa, maka itu dianggap fakta. Asal diberitakan media massa mainstream kapitalis, maka itulah kebebaran.
Agar tak terjebak dalam truth game yang dimainkan para perekayasa kebenaran, maka setiap orang perlu memahamkan diri tentang beda antara hoax, data, dan opini.
Lima, tujuh, sembilan adalah data. Sedangkan banyak atau sedikit itu opini. Sementara jika lima dikata tujuh, itulah hoax. Media massa abal-abal tak ragu mengatkan tujuh, meski faktanya lima.
Media massa yang memiliki reputasi megang kuat kaidah jurnalistik. Tapi perlu diingat, bahwa setiap media punya ideologi dan keberpihakan politik. Media kredibel tidak akan mengatakan lima jika kenyataannya adalah tujuh. Tapi dia akan mengatakan lima itu banyak, atau lima itu sedikit, tergantung pada kepentingan opini yang hendak mereka bangun.
Media konter hoax juga sering kali menjadi sumber hoax itu sendiri. Berbekal stample penguasa, dia tuduh semua berita yang tak sesuai kepentingan penguasa adalah hoax. Sering kali, pendapat dari pihak lawan disebut hoax. Sementara opini sendiri disebut fakta.
Selamat datang di rimba raya keruwetan antara fakta, data, opini, dan hoax. Sepintar apapun seseorang, kalau lugu dalam wawasan perang pemikiran antar ideologi, bisa dipastikan dia akan terjerat jebakan post truth.