Oleh: Davy Byanca
Sebagai konsultan hukum, saya kerap bertemu dengan orang Islam yang “kreatif.” Mereka menciptakan pola bisnis baru berkedok syariah, hanya untuk “menghalalkan” transaksi bisnis mereka. Aku menyebut mereka sebagai orang-orang yang mencoba menipu Allah. Mengapa? Karena mereka sering menggunakan kalimat “bagi hasil” untuk suatu hubungan bisnis. Tapi pola bagi hasil itu hanyalah sebuah istilah, agar tak terlihat nafsu kapitalis bersemayam di dalam dirinya.
Berulang kali aku menegor mereka untuk berhenti menipu Allah dengan cara-cara seperti itu, sebab sebagai konsultan hukum saya faham bagaimana konstruksi hukum yang benar dalam bertransaksi. Yang paling lazim dilakukan adalah dengan meminjamkan uang untuk suatu proyek dengan memakai kata “investasi.” Saya tahu bahwa mereka takut menggunakan istilah “pinjam” karena takut dibilang rentenir, karena itu mereka pakai istilah investasi.
Bagaimana mungkin sebuah investasi digabung dengan kredit? Bagaimana mungkin air disatukan dengan minyak? Bagaimana mungkin Anda menjadi kaya dalam sekejap dengan mengharapkan keuntungan yang besar setiap bulannya tanpa ikhtiar? Mustahil bukan?
Dalam bahasanya Imam al-Hakim al-Tirmidzi, mereka adalah orang yang amal kebaikannya bersumber dari hati yang sakit. Amal ibadahnya keluar dalam kondisi mendung akibat hatinya yang sakit karena dosa. Orang yang demikian tak ubahnya seperti pemilik kantung yang ditiup. Saat kantung dibuka, angin pun keluar. Yang tersisa di dalamnya hanya sedikit. Semua amalnya ibarat gerakan badan tanpa cahaya.
Aku kenal beberapa muslim yang masih bermain api dengan pola investasi seperti itu, hampir semua jiwanya tak tenang walau mereka memiliki harta kekayaan yang berlimpah, dan rajin beribadah. Mereka mencoba membujuk Allah dengan membantu kehidupan para ustadz, menyantuni anak yatim, membangun pesantren dan masjid. Mereka lupa bahwa sesungguhnya mereka sedang mencatatkan diri mereka sebagai orang-orang yang bangkrut sebagaimana yang pernah disampaikan oleh Rasulullah saw.
Pelajaran apa yang dapat kita petik dari kasus di atas? Uang ternyata kerap membutakan mata hati semua pihak yang terlibat dalam urusan bisnis. Syaitan selalu saja berhasil memperdaya kita tanpa pandang bulu. Inilah fenomena yang telah disampaikan oleh Rasulullah saw 1.400 tahun yang lalu. Dari Abdullah bin Abbas dan Anas bin Malik ra, keduanya berkata bahwasanya Rasulullah saw telah bersabda, “Andaikan seorang anak cucu Adam mempunyai suatu lembah emas, pasti ia ingin mempunyai dua lembah. Dan tiada yang dapat menutup mulutnya (tidak ada yang dapat menghentikan keinginan) kecuali tanah (kubur). Dan Allah berkenan memberi taubat kepada siapa yang bertaubat.” (HR. Muttafaq alaihi).
Modal seorang mukmin dalam menghadapi dunia bukanlah harta, melainkan iman dan tauhid. Dan tauhid merupakan modal utama sebagai syarat diterimanya amal. Dari sanalah seorang mukmin mendapatkan laba.
Bukan menjadi pengusaha yang berpenampilan ustadz yang ujung-ujungnya menipu rakyat. Baahhh .. masih sukak tipu-tipu rupanya kelien …!