Oleh: Davy Byanca
Suatu hari saya dihampiri seorang pemuda yang tampak kusut dan kusam. Saya baru saja berkemas usai memberikan pencerahan kepada para remaja di masjid dekat rumah dengan tema ”Asyiknya Curhat.” Rupanya apa yang saya sampaikan kena di hati pemuda ini. Dengan tersendat ia berkata bahwa dia ingin minta saran saya sebelum membuat sebuah keputusan penting. Saya pun memintanya untuk menceritakan masalahnya. Ia berkata, ”Bang, saya tersiksa oleh cinta yang bertepuk sebelah tangan dan sungguh saya tak mampu mengendalikan diri saya. Hidup ini menjadi tak ada artinya dan rasanya saya tidak ingin hidup lagi.”
”Wah serius kali masalah anak ini,” kupikir. ”Mengapa kamu menganggap hubungan kalian begitu serius?” Ia menjawab, ”Kami telah lama berhubungan, bang.”
Saya melanjutkan, ”Kalian telah bersama-sama untuk waktu yang lama, tapi tolong tunjukkan sama abang, seberapa dalamkah cintamu.” Anak muda ini mulai faham lalu berujar, ”Ya, cinta memang tak dapat diukur bang.”
”Nah … kalau begitu, mengapa kamu mau menyia-nyiakan hidupmu karena dia? Jika kekasihmu itu keluar dari kehidupanmu, apakah lalu langit ini akan runtuh? Sekarang coba kamu pikir baik-baik. Apakah layak engkau memberikan cintamu kepada seseorang yang kemudian berpaling ke lain hati? Mengapa kamu ingin menyiksa dan menyengsarakan dirimu karena perempuan seperti itu?” saya pun nyerocos bak petasan cabe rawit.
Saya tahu pemuda ini sedang galau dan patah hati berat. Tapi saya tahu pula bahwa sesungguhnya ia hanya bermain dan dipermainkan oleh pikirannya sendiri. Ia merasa sakit karena keinginannya “untuk memiliki” tak mendapat respons. Yang dia tak tahu adalah, bagaimana caranya melepaskan diri dari pikiran sakitnya itu.
Yang saya lakukan adalah membuka pikirannya, membuka katup-katup yang telah menutup mata hatinya. Pada gilirannya kelak, insya Allah ia akan sadar, bahkan akan mentertawakan dirinya sendiri, betapa tololnya dia. Terpuruk hanya karena masalah asmara yang tak jelas. Inilah akibatnya jika kita terjebak ke dalam ‘episode roman picisan’. Cinta yang seperti ini memiliki rasa kepemilikan yang besar dari sang pecinta, cenderung posesif. Inilah resiko dari melampiaskan perasaan cinta secara tidak benar.
Kisah cinta bertepuk sebelah tangan di atas hanya sebuah contoh bagaimana rapuhnya kita saat harapan tak tercapai, ketika keinginan tak terpenuhi, dalam hal apa pun juga. Ini merupakan dampak dari besarnya obsesi kebanyakan orang yang mengidamkan kebendaan, kemewahan, dan kekuasaan ketika mereka sehat. Ketika sehat, banyak yang tergoda oleh hal-hal di sekitar mereka. Mereka mengejar hal-hal di luar diri mereka dan konsekwensinya, mereka menemukan banyak kesengsaraan.
Jika saja mereka sadar bahwa segala harta dan kesenangan itu tidaklah kekal, sebagaimana usia tua, penyakit dan kematian adalah kejadian yang alami, maka rasa sakit tentu tak akan menyebabkan begitu banyak rasa penderitaan. Begitulah. Saat si pemuda menghampiri saya, ia bukan saja merasa sakit hati tapi juga menderita karena rasa sakitnya itu.
Lantas, salahkah anak muda ini mencintai wanita idamannya? Tentu tak salah mencintai seseorang, karena cinta adalah “bahasa hati”. Tapi cinta yang seperti apa selayaknya tumbuh di hati sang pemuda dan di hati kaum muslimin lainnya. Rasulullah saw mengajarkan kita untuk mencintai seseorang karena Allah swt. Beliau bersabda, bahwa ada seorang lelaki pergi mengunjungi saudaranya yang bermukim di suatu negeri yang jauh dari tempat tinggalnya. Maka Allah swt menyuruh malaikat untuk menemaninya selama dalam perjalanan. Malaikat bertanya kepada lelaki itu, ”Akan kemanakah engkau?” Lelaki itu menjawab, ”Mengunjungi saudaraku di suatu daerah.”
”Apakah engkau berkunjung karena berhutang budi kepadanya?” tanya malaikat itu. ”Tidak,” tegas lelaki itu, ”sebab aku mencintainya semata-mata karena Allah Ta’ala.”
Malaikat itu berterus terang, ”Sungguh, Allah swt mengutusku menemanimu disebabkan cintamu kepada saudaramu semata-mata karena-Nya.” HR. Muslim.
Rasulullah saw telah mengajarkan kepada kita bagaimana meletakkan sebuah cinta secara benar. Karena kelak kita akan menuai lezatnya iman. Simaklah apa yang diajarkan oleh Rasulullah saw kepada kita, “Ada tiga hal yang bila ada semuanya pada diri seseorang, ia akan merasakan manisnya iman. Pertama, Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai dari apa pun selain keduanya. Kedua, ia mencintai orang semata-mata karena Allah, dan ketiga, ia benci untuk kembali kepada kekafiran setelah Allah menyelamatkannya seperti ia benci untuk dilemparkan ke dalam api Neraka.” HR. Bukhari.
Jika kemudian, anak muda ini menyesal atas kebodohan dirinya, ini adalah bukti bahwa Allah sesungguhnya mencintai dan merawatnya. Sungguh ia telah terhindar dari episode kehidupan roman picisan.
Aku –
terperikan dalam simphony cinta-Mu