Oleh: Davy Byanca
Aku mempunyai seorang teman, seorang sopir mobil antar-jemput sekolah swasta Islam di lingkungan tempat tinggal saya, ia jebolan Fakultas Ekonomi sebuah universitas swasta di Jakarta. Oleh orang tuanya ia malah diberi amanah untuk mengurus pesantren kecil milik engkongnya di pinggiran Jakarta. Untuk menghidupi keluarga kecilnya -seorang istri dan dua orang anaknya- kadang ia menjadi tukang ojek.
Setiap Jumat kami bertemu di masjid lingkungan sekolah Islam tersebut. Suatu kali sebelum memasuki masjid, ia memberikan sebuah tips yang aku ingat terus sampai hari ini, “Bang, mau tahu nggak, bagaimana caranya menipu syaitan?” Mendengar pertanyaan dadakan tersebut, saya hanya bisa cengar-cengir tanpa menjawab.
Melihat gelagat seperti itu, ia pun menjawab sendiri pertanyaannya, “Sebentar lagi kita akan menipu syaitan bang, saat kotak amal sampai di hadapan kita, keluarkanlah uang yang paling besar yang ada di dompet abang. Itulah saatnya kita menipu syaitan, yang selalu membisik-bisikkan hati kita untuk mengeluarkan uang yang terkecil yang ada di dompet kita.”
Wah, bukan main filosofi bang Udin si sopir jemputan ini pikirku. Selama dalam masjid pikiran ini terganggu oleh ucapan bang Udin, dan akupun mencoba menghadirkan sosok bang Udin dalam pikiran. Dia lah sosok yang tak pernah mengeluh dan malu dengan gelar sarjana yang disandangnya, ia mudah bergaul dengan siapa saja, dan satu-satunya orang yang kukenal yang tak pernah mengeluh soal ekonomi, baik di hadapan teman-teman sekerjanya maupun kepada para orang tua murid.
Beberapa pekan kemudian aku menjumpai bang Udin untuk membenarkan teorinya. Ia tersenyum seraya mengatakan, “Saya hanya mencoba mengamalkan apa yang telah difirmankan oleh Allah dalam surah al-Baqarah ayat 245, insya Allah, Allah akan melapangkan rizki kita.” Setibanya di rumah saya pun membuka al-Baqarah ayat 245 tadi, dan Allah swt pun berfirman, “Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rizki) dan kepada-Nya lah kamu dikembalikan.”
Sebuah pembelajaran yang luar biasa telah diberikan oleh Allah melalui sosok bang Udin. Dia mengingatkanku kembali bahwa, menjadi orang kaya adalah yang tidak berharap kepada manusia. Bang Udin bekerja sebagaimana yang disyariatkan, dan tak pernah lari kepada manusia untuk menghamba dan menghinakan dirinya. Persis seperti apa yang yang disampaikan oleh Syaikh Abu al-Hasan ra, “Aku merasa tidak dapat memberi manfaat kepada diriku sendiri. Lalu, bagaimana mungkin orang lain bisa memberi manfaat kepadaku? Aku berharap kepada Allah untuk selain diriku. Lalu, bagaimana mungkin aku tidak berharap kepada-Nya untuk diriku sendiri?”
Mawlana Jalalludin Rumi berkata, “Dalam hal kedermawanaan dan membantu orang lain jadilah seperti sungai yang terus mengalir tiada henti tanpa mengharap kembali.”
Begitulah. Bukankah satu kebaikan yang kita tanamkan akan menjadi sebuah pohon kebaikan. Dari sebuah pohon kebaikan tersebut akan muncul buah kebaikan yang tak terhitung jumlahnya. Artinya bahwa satu kebaikan yang kita lakukan, Tuhan akan balas dengan kebaikan yang berlipat ganda apalagi jika kebaikan yang terus menerus dilakukan.
Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?