Oleh: Davy Byanca
Usai pengajian di sebuah majelis ta’lim, seorang ibu dengan mata sembab menyambangiku. Ia berkeluh kesah mengenai problem rumah tangga yang sedang dialaminya. Singkat cerita, ia mengatakan bahwa suaminya telah selingkuh. Dengan penuh emosi ia menceritakan telah melabrak dan memaki-maki ‘si pelakor’ yang telah merebut sang suami dari pelukan dirinya dan anak-anak.
Saya tertegun mendengar kisah sedih sang nyonya muda ini, seperti biasa, saya hanya memberikan nasihat yang mudah –yang mungkin saja tak memuaskan dirinya- yakni, doakan suamimu kapan pun dan di mana pun, minta kepada Allah sebagai satu-satunya Dzat Yang Dapat Mengendalikan hati setiap mahluk, agar hatinya dapat menemukan kembali hidayah dan hikmah kehidupan ini. Ia pun berlalu, setelah meminta nomor seluler saya.
Tak dinyana, sang nyonya menghubungi saya keesokan harinya. Ceritanya makin komplit dan, tentunya semakin seru. Saya pun menjadi “pendengar yang baik.” Di dalam hati, saya bergumam, “Beginilah kira-kira yang dialami oleh para ustadz, da’i atau guru-guru spiritual dalam menghadapi jama’ahnya.” Kuping saya mulai panas, intinya cuma satu, ia belum puas dengan nasihat saya yang kemarin. Barangkali ia meminta saya untuk ‘membenarkan” tindakannya memaki-maki sang wanita lain itu. Atau paling tidak bersedia menjadi “ember” yang akan menampung seluruh emosinya yang tak tertumpahkan.
Terakhir, ia meminta bacaan dzikir apa kira-kira yang mesti diamalkan untuk menghadapi persoalannya. Saya menjawab, sejak awal pembicaraan, “perbanyak istighfar saja bu …!” Sebelum menutup pembicaraan, saya katakan kepadanya, bahwa ini adalah kali terakhir saya mau menerima “curhat”nya. Saya anjurkan agar ia mulai melakukan “curhat” hanya kepada Allah saja. Karena Dia-lah satu-satunya Dzat yang mampu menolong kita. Tak perlu datang dari satu ustadz ke ustadz yang lain, untuk membuka aib keluargamu. Bangun malam hari, tahajud lalu bersimpuh memohon kepada Allah …! That’s it …!
Saudaraku, kunci kehidupan rumah tangga sejatinya terletak pada edukasi yang tak henti-hentinya saat mau menikah dan pada saat menjalani perkawinan itu sendiri. Untuk dapat memahaminya, marilah kita simak kisah seorang Bikhu yang membuat tembok dinding batu bata untuk keperluan viharanya. Ternyata membuat tembok dengan batu bata bukankah pekerjaan yang mudah. Setelah melewati perjuangan keringat yang luar biasa, berdirilah tembok itu.
Sang Bikhu pun berdiri untuk memandang dan mengagumi hasil karyanya. Saat itulah ia mengetahui bahwa ternyata ada dua batu bata yang telah keliru penyusunannya. Semua batu bata sudah lurus, tapi yang dua itu, tampak miring. Ia kesal karena telah membuat suatu kesalahan, tapi Kepala Vihara biarkan saja temboknya seperti itu.
Suatu hari, ia membawa seorang tamu yang mengunjungi Viharanya. Tamu itu berkata, “Wah, itu sebuah tembok yang indah.” Sang Bikhu pun heran, apa tak salah lihat si tamu ini, tidakkah dia melihat ada dua batu bata jelek yang merusak keseluruhan tembok itu? Tapi sang tamu terus berkomentar seolah sedang membaca pikiran sang Bikhu, “Ya, saya dapat melihat dua batu bata jelek itu, tapi saya juga dapat melihat 998 batu bata yang bagus!”
Ucapan sang tamu itu, selanjutnya mengubah keseluruhan pandangan sang Bikhu terhadap tembok itu, yang berkaitan dengan dirinya dan banyak aspek lainnya dalam kehidupan. Ia sadar bahwa selama ini matanya hanya terpusat pada dua bata yang jelek itu, ia telah terbutakan dengan dua bata itu.
Begitulah. Saat ini betapa banyak orang yang memutuskan hubungan perkawinannya karena semua yang mereka lihat dari diri pasangannya adalah “dua batu bata jelek?” Bukankah kenyataannya, struktur perkawinan yang kita bangun selama bertahun-tahun itu, ada banyak batu bata yang bagus, tapi pada saat itu kita tak melihatnya. Apa pun yang kita lihat mengenai pasangan kita, mata kita hanya terfokus pada kekeliruan yang telah dibuatnya. Semua yang kita lihat adalah sebuah kesalahan, karenanya kita ingin segera menghancurkannya.
Sesungguhnya saat itu, kita sedang benar-benar ingin menghancurkan sebuah tembok yang indah. Bukankah setiap manusia memiliki dua batu bata yang jelek di dalam dirinya? Tapi, bukankah ada banyak batu bata yang indah yang terpatri di dalam diri setiap manusia? Bukankah manusia adalah mahluk yang lemah dan tak luput dari aib dan cacat? Begitu banyak manusia yang merasa dirinya sempurna saat melihat kekurangan orang lain, naluri hewani mereka muncul seolah ingin menerkam lawannya. Mereka lantas membanding-bandingkan kekurangan tersebut dengan orang lain. Mereka lupa bahwa Allah swt telah berfirman: “Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan dalam keadaan lemah.” QS an-Nisaa’ [4]: 28
Seorang tukang bangunan professional berkata, “Kami para tukang bangunan selalu membuat kesalahan. Tetapi kami bilang kepada pelanggan kami bahwa itu adalah ‘ciri unik’ yang tiada duanya. Lalu kami pun menagih biaya tambahan jutaan Rupiah.” Jadi ‘ciri unik’ di rumah Anda, bisa jadi berasal dari sebuah kesalahan.
Kisah batu bata tadi insya Allah dapat memberikan inspirasi bagi siapa saja untuk dapat memaknai cinta. Tak perlu meruntuhkan tembok perkawinan yang sudah Anda bangun selama bertahun-tahun, hanya karena ada “dua batu bata jelek” tadi.
Aku –
hanyalah dua batu bata dalam sebuah ornamen peradaban.