Oleh: Davy Byanca
Beberapa tahun terakhir ini, hidup saya semakin berwarna. Tak pernah terpikirkan sebelumnya jika hari-hari saya saat ini lebih banyak dihabiskan dengan menulis, berceramah, memberikan pelatihan, daripada hadir di persidangan atau membuat draft-draft perjanjian bagi kepentingan klien. Agenda temu muka dengan jama’ah malah lebih intens ketimbang temu muka dengan rekan sesama advokat, hakim, jaksa, dan polisi.
Saya menikmati semua aktivitas lama dan baru itu, seperti; larut di depan laptop saat menulis di tengah malam, suka cita sewaktu sharing bersama jama’ah, mengelus dada saat klien mengemplang pembayaran, atau saat-saat melelahkan mendampingi klien di kepolisian.
Saya katakan itu sebagai kenikmatan, karena saya pernah mengalami saat-saat pahit dalam hidup ini, sebagaimana saya pernah mengalami momen-momen indah dalam hidup. Semua pengalaman hidup itu -termasuk perjalanan spiritual, saya rekam, lalu saya bagi kepada beberapa teman guna diambil hikmahnya. Sebagian saya bukukan, dan telah dijual ke pasaran. Sampai saat ini telah 5 buku saya tulis. Saya tak menyangka, jika kelak buku pertama saya -“Jejak Langkah Mengenal Allah”, kemudian mampu menginspirasi beberapa pembaca.
Nah, berawal dari buku itulah, saya diundang untuk memberikan ceramah ke berbagai majelis dan masjid. Tetapi satu hal yang selalu saya ingatkan, bahwa saya bukanlah seorang ustadz, saya hanya berusaha untuk menjadi orang yang dapat mencerahkan, bermanfaat bagi orang lain. Albert Einstein berkata, ”Kita harus melakukan yang terbaik. Ini merupakan kunci tanggung jawab suci manusia.”
Hidup ini sejatinya adalah menanam benih yang harus disiram dan dipupuk agar tumbuh serta bermanfaat bagi siapa saja. Karena itu, di dalam setiap pencerahan yang saya lakukan, saya hanya ingin membantu orang untuk melihat hidup ini secara berbeda, karena pendidikan hanya terjadi ketika pembelajaran berkaitan dengan pengalaman seseorang.
Saya tahu persis, di luar sana masih banyak orang yang puasa Ramadhan, tapi tak mendirikan shalat. Ada pula yang shalatnya tak ketinggalan, tapi maksiatnya jalan terus. Mereka layaknya lilin yang menerangi tetapi membakar dirinya sendiri. Karena itu saya terinspirasi untuk membawakan lentera karena yakin mereka membutuhkan lentera, bukan caci-maki. Menarik sekali apa yang disampaikan oleh Vissudhi Magga, ”Bila unsur pencari kebenaran tidak ada dalam setiap orang, tak akan mungkin berpaling dari yang namanya keinginan. Juga tidak mungkin merindukan nirvana, serta tak akan ada pencarian maupun ketetapan hati untuk mencarinya.”
Celakanya, banyak lalu yang menyangka saya seorang ustadz dalam pengertian guru agama atau yang ahli dalam ilmu agama. Tak henti-hentinya saya menolak predikat itu, karena pengetahuan agama saya masih sedikit, pengamalan masih jauh dari ideal. Stigmatisasi ”ustadz” ini sering merepotkan saya. Misalnya, ada seorang ”ustadz sungguhan” yang entah kenapa berkata kepada seorang teman, bahwa bang Davy itu ustadz karbitan.
Ada yang mengatakan saya tak layak jadi ustadz karena tak faham bahasa Arab dan bacaan al-Qur’an saya masih jauh dari sempurna. Alhamdulillah! Saya bersyukur karena Allah telah mengirimkan mereka agar saya dapat terus melakukan introspeksi.
Saya sadar betul bahwa bangsa ini masih memerlukan ribuan manusia yang bertugas untuk mencerahkan hati putra-putrinya, apa pun profesi dan agamanya. Karena semakin berbudi pekerti sebuah bangsa, semakin tinggi pula tingkat kesadaran bertuhan mereka. Siapa tahu kelak mereka menjadi umat yang bertauhid; yang berikrar syahadat.
Di sanalah saya ingin berperan, melakukan pencerahan bagi umat, tanpa ada sekat atau label yang membuat jarak antara saya dengan umat. Karena itu, saya merasa sah-sah saja membuat pertemuan di cafe, mal, atau kedai kopi. Pasalnya, lahan dakwah terbesar yang mesti digarap oleh para ulama atau ustadz, hemat saya adalah di tempat-tempat itu. Tapi sedikit sekali yang mau menjamahnya.
Begitulah hidup. Saya tak pernah ambil peduli dengan omongan orang seperti itu. Tuhan tahu saya hanya ingin berbagi dan belajar. Pasalnya, saya merasa ilmu tentang kehidupan dan ketauhidan saya makin bertambah seiring dengan banyaknya pencerahan yang saya lakukan. Ibarat sumur; semakin sering digunakan, airnya semakin bertambah dan jernih. Bukannya mengering dan berbau. Saya mengalami hal-hal itu, termasuk semakin besar penolakan saya untuk ceramah, semakin banyak jalan terbuka untuk menuju ke arah sana.
Maka mengalirlah saya ibarat air pegunungan, bukankah saya hanya ingin menyampaikan satu ayat saja kepada mereka yang membutuhkan? Saya tidak berkeinginan menjadi ulama atau ustadz yang sarat dengan simbol-simbol. Modal saya hanyalah pena dan laptop untuk berteriak, menggugat, dan berbagi. Saya hanyalah sebuah pensil di tangan Tuhan, yang ingin menggores kalbu setiap hamba-Nya yang memerlukan pencerahan agar tak terjebak dalam kubangan kemaksiatan sebagaimana potret diriku di masa lalu. Itu saja kok pak ustadz!
Aku –
tak lebih suci dari kalian duhai sahabat akheratku.