(Kontemplasi Akhir Ramadhan)
Oleh: Davy Byanca
Aku mengenal orang-orang sukses -dalam artian finansial dan popularitas, yang menikmati kesuksesannya dengan berbagai macam cara. Ada yang gemar mengkoleksi mobil, motor besar, berlian, properti. Ada yang menerbitkan buku, bicara tentang kisah suksesnya, ada pakai kopiah bicara soal bisnis dan mengajak umat dalam ‘investasi sedekah’ tanpa merasa berdosa. Hampir semua orang sukses seperti ini, menurut pandanganku; pandai berbicara atau bersilat lidah. Talentanya mampu menyihir audiens sehingga mereka pun berdecak kagum, dan antri minta foto bersama.
Kata-kata adalah aroma nafas batin seseorang. Kata-kata adalah kemampuan yang membedakan manusia. Sebuah kata adalah janji dan cermin dari si pembicara. Celakanya, banyak bicara kadang membuat si pembicara terbuai. Seolah ucapannya tanpa cela, akibatnya ‘berdusta’ menjadi halal saat mempertahankan argumennya. Atau ‘asal-bunyi’ menjadi ritual agar tidak kelihatan bodoh karena tak mampu menjawab pertanyaan audiens.
Karena itu, berhati-hatilah jika ingin berkata-kata. Jangan mengatakan sesuatu yang sia-sia. Tanpa makna. Apalagi yang menyinggung perasaan manusia hanya untuk sekadar mencari popularitas atau sekadar ‘ingin beda’. Bukankah manusia tidak diciptakan dengan sia-sia, bukankah setiap nafas kita itu dihitung. Orang bijak berkata, “Jika ingin memahami dan menilai seseorang, biarkanlah ia bicara.”
Dalam kehidupan sehari-hari –sadar tidak sadar, kita sering melanggar janji atau komitmen. Tidak jujur dalam menyatakan sebuah kejadian. Berbohong dalam menyampaikan sebuah kisah. Bahkan aku mengenal seorang motivator yang kemana-mana mengatakan, sekaligus ‘menjual’ kemampuan matanya yang –katanya, sanggup melihat sampai 500 meter ke kedalaman tanah. Waduhh …! Betapa banyak cara dan kiat menipu audiens atau jamaah melalui kata-kata, demi mempertahankan citra dan popularitas.
Dari situ aku belajar, bahwa perkataan itu seringkali menipu. Ucapan seseorang tidak pasti menunjukkan keadaan yang sebenarnya tentang orang tersebut. Banyak kita temukan orang-orang yang menyembunyikan realitas keburukan mereka dengan kata-kata mereka yang manis dan indah. Pembicaraan mereka boleh jadi menukik tetapi belum tentu aplikatif.
Setelah keliling berceramah, aku pun tersadarkan usai membaca tulisan Ibnu Samak. Begini katanya, “Berapa banyak orang yang mengingatkan tentang Allah itu lupa kepada Allah. Tak terhitung banyaknya orang yang menyuruh agar takut kepada Allah itu malah berani kepada Allah. Tak sedikit orang yang mengajak mendekat kepada Allah itu malah jauh dari Allah. Betapa banyak orang yang mengajak kepada Allah justru berlari menjauh dari-Nya. Dan tak terkira orang yang membaca kitabullah itu melepaskan diri dari ayat-ayat Allah.”
Kesadaran sering datangnya diakhir, tapi tak ada kata terlambat dalam kamusku. Bukankah bahasa perbuatan itu lebih fasih dan lebih jujur daripada bahasa ucapan?
Aku –
yang masih sering silap kata .. maafken ya.