(Renungan 10 Malam Terakhir Ramadhan)
Oleh: Davy Byanca
Suatu ketika saya mem-posting tulisan di akun facebook saya. Begini tulisannya: “Saya Muslim, Islam itu sempurna tapi saya tidak. Kalau saya salah, jangan salahkan Islam, tapi salahkan saya.” Sontak ratusan orang memberikan tanda like dan puluhan lainnya memberikan komentar.
Yang menarik, ada komentar dari seorang sahabat Muslim yang agak miring menanggapi tulisan tersebut. Ia berkata, “Aku Muslim. Tapi Islam yang mengajak, bukan yang menginjak-injak. Islam yang merangkul, bukan memukul. Islam yang membina, bukan menghina. Islam yang memakai hati, bukan memaki-maki. Islam yang mengajak taubat, bukan untuk saling menghujat. Islam yang memberikan pemahaman, bukan memaksakan pemahaman.” Aku tak berminat untuk mengomentari tulisannya. Dalam hati aku hanya berfikir, “emangnya ada ya Islam yang menginjak-injak, memukul, menghina, memaki-maki, menghujat dan memaksakan pemahaman.
Kita memiliki agama yang sama dan mengamalkan praktik spiritual yang sama. Kita semua mengikuti jalan yang sama dan kita dapat sailing mendukung dan saling menemani di jalan ini.
Kita mestinya bisa menjadi sebuah keluarga spiritual. Namun, di sisi lain, jalan kita masing-masing bersifat unik karena kita semua memiliki jalan hidup yang berbeda-beda. Cara kita mencintai Tuhan unik dan cara kita melayani orang lain juga berbeda satu sama lain. Nabi Muhammad saw pernah berkata, jumlah jalan menuju Tuhan itu tak terhitung, sebanyak jumlah ruh. Beliau bahkan senantiasa mengingatkan kita untuk belajar setiap hari.
Sayangnya kita hidup di tengah budaya yang mementingkan kata-kata, bukan tindakan. Bayangkan. Kata-kata yang kita lantunkan dalam doa bisa menjadi sangat luar biasa dan menggugah. Tetapi sering kita mengucapkannya tanpa merenungi maknanya. Kita lafazkan kata-kata dalam al-Quran tanpa berfikir bahwa kata-kata itu adalah pesan-pesan Allah swt yang kedalaman maknanya tak terbatas. Maka komentar teman tadi kuanggap hanya sekadar kata-kata yang diluncurkan tanpa tahu apa maknanya.
Sosmed sejatinya dapat kita jadikan sebagai ajang berbagi ilmu, saling menasehati dan saling mendoakan. Semua sebaiknya dilakukan dengan niat yang baik dan ikhlas. Setiap saat kita harus memeriksa niat dan motivasi kita melakukan sesuatu. Apakah perilaku kita didorong hasrat untuk menunjukkan kepada orang lain bahwa kita adalah muslim yang baik? Atau kita bertindak berdasarkan niat yang tulus dan keinginan untuk melayani?
Betapa nafsu ini dapat dengan mudah merusak dan mengotori adab. Niat yang baik tiba-tiba saja dapat diubah dan dialihkan menjadi keinginan untuk dipuji oleh orang lain. Maka, sebelum menasehati orang lain ada baiknya menasehati diri sendiri terlebih dahulu. Imam Ibnu Rajab ra berkata, nasehat itu adalah suatu kata untuk menerangkan satu pengertian, yaitu keinginan kebaikan bagi yang dinasehati. Nabi saw berkata, ‘agama itu adalah nasehat.’ Kami (sahabat) bertanya, ‘untuk siapa wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Untuk Allah, untuk Kitab-Nya, untuk Rasul-Nya, untuk para pemimpin umat Islam, dan bagi kamu muslim secara umum.’ Hr. Muslim.
Aku –
maafkan jika selama ini terlalu banyak “menggurui” … ampun yaa Rabb.