Oleh: Doni Riw
Syari’at adalah hukum yang adil dari Allah Azza wa Jalla. Tak pandang bulu berlaku bagi siapapun. Pada masa Rasul SAW, ada seorang wanita pencuri dari keluarga terhormat Bani Makzum. Keluarganya meminta keringanan hukum karenanya.
Rasul SAW tegas menolak, “Apakah kau akan meminta keringanan atas hukum yang telah Allah tetapkan? Demi Allah seandanya Fatimah binti Muhammad mencuri, niscaya aku sendiri yang akan memotong tangannya.”
Demikianlah Rasul SAW mengajarkan kepada kita bahwa syari’at tidak pandang bulu. Jika keharaman telah Allah tetapkan, maka berlaku setara bagi siapapun.
Syaikh Abdulkadir Jailani pernah hendak ditipu iblis. Saat bermunajat kepada Allah, tetiba datang cahaya yang darinya terdengar suara; “Wahai Abdul Qadir, aku adalah Tuhanmu, pada hari ini telah aku halalkan bagimu, apa-apa yang telah aku haramkan bagi orang lain”
Beliau tentu tau, bahwa baginda Muhammad SAW adalah Rasul terakhir. Syari’at yang telah diturunkan padanya, berlaku bagi siapapun.
Jika Allah telah haramkan sesuatu, maka tidak seorangpun lolos dari peraturan tersebut. Meski dia putri Nabi, Kahlifah, Ulama, Pejabat, atau siapapun.
Sistem sekuler mengajarkan kepada kita sebuah pemahaman sesat bahwa hukum syari’at dan hukum sipil itu terpisah. Seolah seseorang boleh terlepas dari hukum syari’at ketika dirinya sedang menjalani kehidupan publik non-agama.
Padahal sejatinya, tak ada perbedaan di antara kehidupan publik dan pribadi. Keduanya wajib patuh pada Syari’at Allah Ta’ala.
Mari sandarkan kebenaran kepada Allah Ta’ala, jangan kepada manusia. Siapapun dia, jika tak sesuai syari’at, maka dia berjalan di atas jalan kebatilan.
Tugas kita adalah menasehatinya dalam kebenaran. Bukan mencari pembenaran atas kesalahannya.