(Renungan 10 Rerakhir Ramadhan)
Oleh: Davy Byanca
Seorang sufi terkenal di zamannya, Syaikh Hasan al-Bashri suatu ketika terlihat menggoda seorang anak kecil yang sedang menyalakan sebatang lilin. “Hai anak kecil, beritahu aku darimana nyala api ajaib ini datang?”
Anak itu langsung meniup padam lilin itu seraya bertanya. “Coba Anda beritahu saya wahai Syaikh, kemana nyala api ini pergi?”
Sontak sang syaikh terdiam. Terbangunkan dalam dirinya bahwa usia bukanlah jaminan kedewasaan dalam berpikir dan bertindak.
Maka, tak heran jika saat ini begitu banyak orang dewasa yang berperilaku seperti anak-anak. Ada anggota dewan yang terhormat membanting meja, dosen yang tengah berduaan dengan mahasiswi di kamar hotel, pemuka agama yang melakukan pelecehan seksual kepada jamaahnya, dan ada pula oknum hakim yang mulia tertangkap tangan saat melakukan pesta narkoba.
Kita hidup di tengah hiruk-pikuk modernisasi yang memporak-porandakan tatanan nilai. Banyak pejabat publik dan pendakwah yang menggebu-gebu, agresif dan ‘nyeleneh’ tak sadar bahwa mereka kelak akan meninggalkan debu dan reruntuhan moral di hati umat.
Banyak orang mengira mereka akan melakoni masalah spiritual di usia senja, seolah-olah waktu masih banyak tersedia. Mendalami agama hanya jika sudah pensiun, taubat hanya diperuntukkan orang-orang yang sudah selesai urusan dunianya, dan masjidpun disesaki oleh orang-orang tua, beruban dan ‘menunggu kematian’.
Mereka lupa, tak ada definisi yang pasti tentang ‘usia senja’. Bukankah kita bisa saja membuat sejumlah rencana untuk 50 tahun ke depan, namun kita sama sekali tak pernah tahu apa yang akan terjadi satu detik ke depan.
Usia kita sejatinya adalah lembaran kertas kosong. Kita telah menulis kisah hidup kita di sebagian kertas kosong itu. Jika selama ini kita sudah menulis begitu banyak kisah buruk, sekaranglah saatnya kita mengisinya dengan kisah-kisah yang indah.
Karena itu, hakikat usia itu bukanlah tahun-tahun yang telah dilewati, melainkan berapa banyak amal salih yang telah dikumpulkan dalam neraca kebaikan.
Sebejat-bejatnya manusia, ia membutuhkan Tuhan. Penjahat kelas kakap sekalipun ternyata membutuhkan Tuhan, meski ia telah melanggar hukum-hukum-Nya. Niscaya, suatu saat ia merasa perlu berkomunikasi dengan Tuhan, ia akan kembali memohon pertolongan-Nya karena ia merasa lemah dan tak berdaya.
Itulah rasa keimanan yang tumbuh kembali dalam diri manusia, dan rasa itu memiliki kekuatan yang dahsyat. Bukankah orang yang sedih bisa gembira, orang yang putus asa akan kembali memiliki harapan, dan orang yang sakit bisa sembuh? Tuhan sejatinya adalah sumber kekuatan bagi setiap orang, apa dan bagaimanapun kondisi mereka.
Ternyata sekian tahun sudah bilangan angka usia ditempuh, tapi masih hitungan hari amal kita tabung. Mari kita isi hari-hari mendatang dengan renungan dan bersyukur. Karena waktu berlalu begitu cepat, seperti jam pasir yang setiap saat terus berkurang.
Aku yang merintih di jalan-Nya