Oleh: Ribut Wahyudi
Ijinkan aku berbagi cerita. Pengalaman-pengalaman kerja di masa lalu, yang dulu sering kukeluhkan, sekarang terasa menjadi kisah klasik yang patut dikenang. Bersyukur pernah mengalami masa-masa berat yang menguras pikiran,tenaga, dan waktu.
Aku pernah bekerja sebagai guru honorer di SMP swasta pada 1995 dengan upah 48 ribu sebulan. Bayaran 6000 rupiah per jam meski sesungguhnya untuk 4 jam karena dihitung sebulan. Di sini aku belajar menata hati dan menguatkan mental karena mengajar anak-anak yang kebetulan nggak pintar dan bahasa Inggris adalah musuh mereka. Aku pernah “dipisuhi” salah satu murid, yang akhirnya murid itu dikeluarkan. Menyesal aku pernah memarahinya hingga dia dikeluarkan dari sekolah. (Maafkan aku, nak. Semoga kamu jadi orang sukses sekarang).
Lalu aku bekerja sebagai konsultan Bahasa Inggris di perusahaan minuman internasional yang sering diajak rapat pihak manajemen dengan para buruh outsourcing untuk menentukan nasib mereka. Aku harus meng-Inggris-kan hasil rapat itu, dan tentu kamu bisa menebak bagaimana perasaanmu karena aku juga tenaga kontrak yang sudah menikah dengan gaji 500 ribu sebulan pada 1996-1998. Aku secara tidak langsung adalah bagian dari para buruh itu.
Lalu aku merantau ke Surabaya sebagai wartawan koran berbahasa Inggris, gaji awal 400 ribuan pada akhir 1998 dan harus membayar kos bersama istri dan keluar ongkos transport. Untuk menghemat aku selalu dibekali makan siang oleh istri. Kami pengantin baru yang masih bingung tentang banyak hal dan jauh dari orangtua. Pernah kami tidur beralasan koran, dalam arti sesungguhnya, dengan lapisan karpet yang dipinjami tetangga sebelum mampu membeli kasur. Kami hanya mampu sewa ruangan kosongan. Yang membantu bawa koran-koran bekas ke kos adalah mas Ariawan Susanto (hey, sehat-sehat selalu ya kamu). Nasib kami membaik setelah aku menjadi kepala redaksi. Lalu lahirlah anak pertama.
Kerja sebagai wartawan, saat itu, adalah kerja rodi yang sesungguhnya. Berangkat pagi dan pulang tengah malam atau dini hari. Kami harus bisa mencari berita, meng-Inggris-kan, me-layout, dan mengeditnya. Saat menjadi kepala redaksi, aku kerja dari jam 9 pagi sebelum karyawan lain berangkat dan pulang paling cepat jam 12 malam setelah koran sudah dicetak. Kerjaku seperti setara kerja 2-3 orang. Dulunya sih, misuh-misuh, hidup berada dalam tekanan. Saking kangennya pada anak, kalau pulang dini hari aku taruh dia terlentang di dadaku dan tidur hingga pagi menjelang. Tetapi sekarang aku bersyukur pernah bekerja sekeras itu, karena pengalaman di tahun-tahun inilah yang ternyata menguatkan bahu dan pikiran saat menghadapi persoalan hidup di masa sekarang. Mungkin aku dan juga teman-teman saat itu (heyyy kalian) tidak setangguh sekarang jika tidak mengalami masa-masa mendepresikan itu. Ini bukan meromantisasi lho. Tapi sebuah kejujuran untuk menghargai sebuah pengalaman hidup.
Lalu aku pindah ke Jogja pada 2001 dan harus membanting tulang dan pikiran. Pernah dianggap nggak kerja dan “ndompleng” hidup sama mertua karena bekerja sebagai penulis dan penerjemah aku harus lebih banyak menghabiskan waktu di rumah. Tidak keluar rumah berhari-hari tentu menimbulkan kecurigaan tetangga. Nggak kerja kok bisa makan. Dan bekerja sebagai penulis dan penerjemah waktu itu mewajibkan kami untuk sering “puasa”. Sering tidak pegang uang. Tetapi ini pula yang membentangkan jalan menuju dunia baru bernama penerbitan.
Demikian sharing kisah sederhanaku. Bekerja di berbagai tempat dan profesi akan menguatkan kita dan memberi kita banyak wawasan. Segala yang dulu atau saat ini kita hadapi, percayalah semua akan menguatkan bahu dan mental kita untuk ujian hidup di masa-masa yang akan datang.
Pesanku, jika tempat kerjamu atau pekerjaanmu saat ini kamu anggap tidak sesuai dengan harapanmu, dari sisi apa pun — gaji atau lingkungan — ada baiknya jangan lama-lama di situ. Ambil pengalamannya. Jangan terjebak dalam situasi yang akan menghambat perkembanganmu. Masih banyak dunia lain yang perlu kamu tualangi. Jika kamu masih muda, jangan lemah ya, segala pengalaman yang baik atau buruk adalah bekalmu kelak.
Tetap semangat, wahai para pekerja. Ini harimu!
Sehat dan bahagia selalu.
(RibutWahyudi, yinggal di: www.indoliterasi.com)