Oleh: Akmal Burhanuddin Nadjib
Setelah Rasulullah صلى الله عليه وآله وسلم wafat, Bilal mendatangi Abu Bakar رضي الله عنهما.
“Wahai Khalifah Rasulullah, aku pernah mendengar Rasulullah bersabda, ‘Sebaik-baik amal seorang mukmin adalah berjihad dijalan Allah’,” tanya Bilal membuka percakapan dengan Abu Bakar.
“Apa yang engkau inginkan wahai, Bilal?” tanya balik Abu Bakar ketika mendengar pernyataan Bilal.
“Aku ingin ikut berperang dijalan Allah hingga kematian menghampiriku,” jawab Bilal.
“Kalo begitu siapa yang akan adzan nanti,” harap Abu Bakar agar Bilal mau tetap di Madinah.
Bilal menangis tersedu, airmatanya menetes, sambil mengatakan, “Aku tidak akan adzan lagi selepas wafatnya Rasulullah.”
“Tetaplah menetap di sini wahai, Bilal, kumandangkan kembali adzan,” pinta Abu Bakar.
“Jika engkau dulu membebaskan aku dari perbudakan hamba sahaya agar aku dapat menjadi budakmu, maka aku akan melakukan apa yang engkau inginkan. Namun jika engkau membebaskan aku dari perbudakan karena Allah, maka biarkanlah aku pergi,” ungkap Bilal memberikan alasan.
Abu Bakar menjawab, “Wahai Bilal, Aku membebaskanmu dari perbudakan karena Allah. Sekarang pergilah kemanapun engkau menginginkan.”
Maka berangkatlah Bilal menuju Syam dan menetap disana untuk menjaga perbatasan dan berjuang dijalan Allah.
Bilal mengungkapkan perasaan yang setelah Rasulullah wafat,
“Aku tidak sanggup untuk tetap tinggal di Madinah selepas wafatnya Rasulullah. Terlalu banyak kenangan bersama Rasulullah.”
Bilal tidak pernah bisa melantunkan adzan selepas Rasulullah wafat. Suaranya selalu tersekat ketika melafalkan أشهد أن محمدًا رسول الله Airmatanya berlinang. Itulah alasan yang telah disampaikan kepada Abu Bakar sebagaimana khalifah pengganti Rasulullah.
Tahunan sudah Bilal meninggalkan Madinah. Dalam tidurnya Bilal bermimpi bertemu Rasulullah yang mengatakan, “Begitu lama perpisahan ini wahai Bilal. Tidakkah engkau ingin mengunjungi kami wahai Bilal.”
Bilal terbangun dalam kesedihan yang luar biasa. Seketika memutuskan untuk berangkat menuju Madinah Al Munawarah. Tempat yang paling pertama dikunjungi adalah makam Rasulullah. Tak bisa menahan tangisan, airmatanya mengalir tak terbendung.
Bilal bertemu dengan Hasan dan Huséin cucu Rasulullah, dicium kening keduanya dan dipeluknya.
“Paman, kami mau paman adzan dari menara itu,” pinta Hasan dan Huséin.
Bilal menurutnya keinginan kedua cucu yang sangat dicintai Rasulullah. Susana Madinah terhentak saat Bilal mulai mengumandangkan kalimat adzan satu persatu.
الله أكبر الله أكبر
Suasana menjadi gaduh ketika masyarakat tau bahwa itu adalah suara Bilal dan sampai pada kalimat
أشهد أن لا آله إلا الله
Bilal tak sanggup melanjutkan azan, suara nya tersekat ketika memasukan kalimat
أشهد أن محمداً رسول الله
Para wanita keluar dari rumah-rumah mereka, suara tangisan memenuhi penjuru Madinah. Semua mengisi pada hari itu mengenang kenangan indah bersamamu Rasulullah.
Saat Amirul Mukminin, Umar bin Khatab berkunjung ke Syam. Kaum muslimin disana meminta kepada Umar agar Bilal mengumandangkan adzan untuk mereka. Umar pun memenuhi permintaan itu dan meminta kepada Bilal untuk azan.
Bilal menaiki menara untuk adzan. Suara penuh kenangan itu kembali terdengar oleh para sahabat yang kini menetap di Syam. Mereka menangis seolah Rasulullah ada ditengah mereka. Tangisan penuh kerinduan, tangisan yang tidak pernah ada sebelumnya.
Saat Bilal dalam kondisi sakratul maut, sang istri menangis disampingnya. “Wahai istriku, tidak perlu menangis. Karena besok aku akan bertemu dengan sang kekasih; baginda Nabi dan para sahabat yang telah mendahului,” pinta Bilal kepada istrinya.
صلى الله على نبينا وحبيبنا وقرة أعيننا محمد صلى الله عليه وسلم. .