Oleh: Salim A. Fillah
Setelah Sultan Jamaluddin ditangkap dan diasingkan ke Batavia pada 1779, VOC mengangkat Kaicil Gay Jira sebagai Raja Tidore. Di lain pihak, putra kedua Jamaluddin, Kaicil Syaifuddin yang dicintai rakyat ditahbiskan sebagai ‘Paduka Maha Tuan Sultan Saidul Jehad el Ma’bus Nuku Muhammad Amiruddin Syah Kaicil Paparangan’.
Sultan Nuku, demikian kelak dia lebih masyhur, menggalang kekuatan melawan VOC dengan mendirikan markas armada kora-koranya di Seram Timur pada 1781. Dia mendirikan benteng-benteng di pesisir pantai, menyebar ranjau di lautan, dan memasang meriam tempur.
Takhta Tidore dihinakan VOC dengan diganti-gantinya Sultan sekehendak kongsi dagang asing itu. Gay Jira diturunkan diganti sang anak, Patra Alam. Lalu Patra Alam diganti dengan Kamaluddin, adik Nuku yang semula berjuang bersama sang kakak. Pecah belah coba hendak diterapkan.
Pada 1787, VOC menyerbu Seram Timur untuk melumpuhkan perlawanan Nuku. Nuku mengalihkan basis pertahanan pasukannya di Pulau Gorong dan menjalin hubungan baik dengan pasukan Inggris atas dasar hubungan timbal balik. Kelak bahkan Nuku berhasil memanfaatkan Inggris untuk bersama menghantam VOC.
Menderita banyak kekalahan, VOC mengajukan tawaran berunding. Nuku menolak dan semakin menggiatkan serangan terhadap VOC yang dibantu pasukan Tidore yang setia pada Kamaluddin. Pada 1796, Nuku berhasil menguasai Pulau Banda. Setahun kemudian, mereka merebut Tidore dan membuat Sultan Kamaluddin melarikan diri ke Ternate.
Rakyat Tidore secara bulat menunjuk Nuku menjadi Sultan. Beliau terus menggempur kekuatan Belanda di Ternate hingga tahun 1801 negeri tetangga tersebut dapat dibebaskan dari cengkraman Belanda. Nuku berjihad 25 tahun, dan duduk di takhta hanya 8 tahun, tapi namanya mengabadi. Rahimahullaah.