Oleh: Joko Intarto
Saya baca beritanya di sebuah website. Disebutkan ada video yang viral tentang warga non muslim yang ditolak mendaftar layanan vaksinasi di lingkungan Muhammadiyah.
Berita ini aneh. Meragukan. Bahkan cenderung tendensius. Sebab di Muhammadiyah, isu eksklusivisme itu tidak laku. Dalam pelayanan sosialnya, Muhammadiyah tidak membeda-bedakan suku, ras, maupun agama. Pelayanan Muhammadiyah bersifat inklusif.
Terlalu panjang bila harus menyebutkan contohnya. Terlalu banyak yang harus ditulis. Saya sebut dua saja: Universitas Muhammadiyah di Kupang dan Papua. Berapa banyak mahasiswa muslimnya? Banyak mana dengan mahasiswa non muslim?
Dua tahun lalu, Lazismu, lembaga amil zakat Muhammadiyah, bekerjasama dengan TNP2K menyalurkan program listrik tenaga surya kepada keluarga yang belum terlayani jaringan PLN di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS). Ribuan unit lampu bertenaga matahari dipasang. Keluarga non muslim 98 persen, keluarga muslim 2 persen.
Dananya dihimpun Lazismu dari kaleng Filantropi Cilik. Lebih dari 25 ribu kaleng dibagikan kepada siswa-siswi TK, SD dan SMP Muhammadiyah di Jakarta untuk menampung uang jajan yang disisihkan sebagai donasi.
Bila mengikuti pemberitaan berbagai media online belakangan ini, memang ada semacam pola, banyak media yang senang dengan berita sensasional. Mungkin tujuannya mencari popularitas. Makin tidak terkenal medianya, makin ‘ngaco’ beritanya.
Berita-berita remeh-temeh yang tidak konstruktif pun bertebaran di sana. Jejak digitalnya mudah ditemukan.
Seabad lebih Muhammadiyah membuktikan diri konsisten untuk membangun peradaban dan kemanusiaan. Bukannya diberi ucapan terima kasih, malah direpoti dengan berita yang mungkin hanya bertujuan mengumpulkan ‘jempol’.