Oleh: Salim A. Fillah
Menulis adalah mengikat jejak pemahaman. Akal kita sebagai karunia Allah, begitu agung dayanya menampung sedemikian banyak data. Tetapi kita kadang kesulitan memanggil apa yang telah tersimpan lama. Ilmu masa lalu itu berkeliaran dan bersembunyi di jalur rumit otak.
Maka menulis adalah menyusun kata kunci untuk membuka khazanah akal; sekata menunjukkan sealinea, satu kalimat untuk satu bab, sebuah paragraf mewakili berangkai kitab. Demikianlah kita fahami kalimat indah Imam Asy-Syafi’i : ilmu adalah binatang buruan, dan pena yang menuliskan adalah tali pengikatnya.
Menulis juga jalan merekam jejak pemahaman. Kita lalui usia dengan memohon ditambah ilmu dan dikaruniai pengertian; maka adakah kemajuan? Itu boleh kita tahu jika kita rekam sang ilmu dalam lembaran. Kita bisa melihat perkembangannya hari demi hari, bulan demi bulan. Jika tulisan kita tiga bulan lalu telah bisa kita tertawai, maka terbaca adanya kemajuan. Jika anggitan setahun lewat masih terkagumi juga, itu menyedihkan.
Lebih lanjut, menulis adalah mengujikan pemahaman kepada khalayak yang dari berbagai sisi bisa memberi penyaksamaan dan penilaian. Kita memang membaca buku, menyimak kajian, hadir dalam seminar dan sarasehan. Tetapi kebenaran pemahaman kita belum tentu terjaminkan. Maka menulislah, agar jutaan pembaca menjadi guru yang meluruskan kebengkokan, mengingatkan keterluputan, dan membetulkan kekeliruan.
Penulis hakikatnya menyapa dengan ilmu. Maka ia berbalas tambahan pengertian, makin bening, makin luas, kian dalam, dan kian tajam. Agungnya lagi, sang penulis merentangkan ilmunya melampaui batas-batas waktu dan ruang. Ia tak dipupus masa dan usia, ia tak terhalang ruang dan jarak. Adagium Latin itu tak terlalu salah: Verba Volant, Scripta Manent. Yang terucap kan lenyap tak berjejak, yang tertulis kan adi mengabadi.