Oleh: Abdillah Toha
Beberapa hari lalu, ketika memenuhi undangan peresmian pesantren di luar Jakarta, saya melihat dua orang membawa kotak sumbangan untuk membangun masjid, berjejer di tengah jalan raya yang macet. Pemandangan seperti ini tidak unik. Saya yakin banyak dari kita yang sudah sering menyaksikan.
Saya tidak melihat banyak yang mengulurkan tangannya dari dalam mobil. Tiga jam setelah itu, ketika saya kembali pulang lewat jalan yang sama, dalam keadaan hujan, dua orang itu, atau mungkin sudah ganti orang, masih disitu. Saya membayangkan mereka sudah berhari hari di tengah jalan itu. Jumlah dana untuk membangun masjid tidak kecil dan saya ragu apakah hasil yang terkumpul banyak.
Saya menduga, cara mencari dana seperti itu kemungkinan disebabkan oleh paling sedikit tiga hal. Pertama, kampung yang berencana membangun masjid itu bukan kampung orang kaya. Mereka harus keluar kampung untuk mencari dana tambahan dari orang orang yang tak dikenal.
Kedua, orang yang ditugaskan untuk berdiri ditengah jalan itu juga kemungkinan miskin dan menganggur. Bisa jadi sukarela, atau diberi upah, atau dapat bagian dari dana yang terkumpul.
Ketiga, mereka berasumsi, orang berkecukupan dalam mobil mobil mewah itu, setelah menikmati hidup nikmat di dunia akan bermurah hati memberi donasi untuk masjid dengan harapan pahala untuk hidup di sorga yang lebih menyenangkan.
Masjid di kampung bukan sekadar tempat untuk beribadah. Dia juga berfungsi sebagai tempat bersosialisasi. Di malam lebaran dipakai untuk mengumpulkan zakat harta dan fitrah. Pengeras suara masjid sering dimanfaatkan untuk pengumuman tetangga yang meninggal atau keperluan lain.
Masjid adalah hiburan bagi penghuni kampung kalau sedang tidak menonton acara tv yang menarik. Sebagian digunakan juga untuk mengajar baca Al-Quran dan tausiyah bagi ibu ibu. Kadang kadang rapat RW atau RT untuk perayaan agustusan juga diadakan disitu.
Tidak diragukan bahwa masjid di kampung punya multi fungsi. Bahkan belakangan juga digunakan untuk kampanye politik yang tidak seharusnya. Namun demikian, tidak pernah terpikir oleh penghuni kampung untuk memfungsikan masjid sebagai tempat untuk mengangkat penduduk dari kemiskinan. Nyaris tidak pernah kita temui pengumpul dana di jalan dengan tujuan membangun sekolah, umpamanya.
Jumlah sekolah dasar (SD) di seluruh negeri kita saat ini tidak sampai 200,000. Jumlah SLTP dan SLTA jauh lebih sedikit. Namun jumlah masjid dan mushola di Indonesia tidak kurang dari 800,000, dan masih terus bertambah.
Para penyumbang dan inisiator pembangun masjid punya pola pikir yang berbeda. Mendidik anak dan membangun sekolah itu adalah urusan dunia. Menyumbang masjid, tempat orang bersujud, pahalanya langsung naik ke langit. Akibatnya, begitu banyak masjid dimana mana tapi kemiskinan struktural tetap bertahan. Anak sopir tetap jadi sopir. Anak penjual rokok juga sama.
Disamping Itu, membangun masjid jauh lebih sederhana dari bikin sekolah. Disamping biayanya lebih mahal, bikin sekolah harus mencari pengurus, guru, biaya rutin, dan sebagainya. Masjid cukup diurus oleh seorang marbot untuk menjaga kebersihan lingkungan masjid. Dan marbot sering kali merangkap sebagai imam shalat serta muazin. Biaya rutin yang tidak seberapa juga akan tertutup dari pengumpulan dana melalui kotak amal masjid.
Ketua Dewan Masjid Indonesia, Jusuf Kalla belum lama ini sempat menyampaikan pentingnya masjid untuk pengembangan ekonomi umat. Tidak pernah merinci bagaimana caranya. Sebuah penelitian pernah dilakukan tentang pemberdayaan masjid bagi kesejahteraan umat. Sayang sekali dia hanya mengharapkan pemberdayaan dari dana yang dikumpulkan masjid. Padahal untuk mengurus masjid saja belum tentu dana yang terkumpul mencukupi.
Pola pikir umat masih berkutat kepada keyakinan bahwa agama itu untuk kepentingan akhirat. Padahal di akhirat nanti sudah tidak ada agama. Ibadah itu yang utama adalah shalat. Makin banyak shalat makin tinggi kedudukan kita di sorga. Menuntut ilmu atau membangun kekuatan ekonomi umat bukan ibadah. Sehingga umat selalu ketinggalan dan terpinggirkan dalam urusan dunia.
Jumlah masjid di dunia barangkali yang terbanyak dibanding rumah ibadah agama agama lain. Sedang hadis nabi terkenal mengatakan bahwa masjid itu tidak harus dalam bentuk bangunan khusus, sesuai sabdanya “seluruh bumi ini dijadikan masjid (tempat bersujud) untukku”. Dimanapun kita berada, kita dapat menghadap kiblat untuk merendahkan tubuh kita kehadapanNya.
Masjid juga dianggap sebagai simbol dan syiar Islam. Dan ini tidak salah. Kita dapat menyaksikan dengan bangga arsitektur yang menakjubkan dari berbagai masjid modern maupun peninggalan lama di seluruh dunia. Tapi kita tidak boleh berhenti sampai disitu. Kebanggan dan daya tarik Islam yang lebih besar akan kita raih bila kita punya umat yang maju, makmur, kuat, dan menjadi teladan bagi kemanusiaan.
Berbicara tentang masjid masjid kecil di kampung, tidak ada yang bisa dibanggakan. Baik dari sisi arsitektur, bangunan, atau keagungannya. Bahkan bisa jadi fitnah ketika pengeras suara yang berlebihan mengganggu ketenangan hidup lingkungannya.
Pola pikir memperbanyak masjid ini harus segera dikoreksi. Muslim harus diyakinkan agar memusatkan daya dan dananya untuk kepentingan membangun institusi dan kegiatan yang bertujuan mencerdaskan umat dan menaikkan derajat kemanusiaan di bumi.
Pintu sorga akan lebih terbuka lebar bagi hamba Allah yang bisa mengangkat sesamanya untuk hidup lebih baik. Agama itu diturunkan di dunia buat kepentingan hidup disini dan kini. Jangan sampai kita kehilangan dunia dan akhirat pun lepas dari kita.
Wallahu a’lam
AT
dari buku “Buat Apa Beragama?”