Oleh: Pury Purwanto Tanjung
Didi Kempot sudah pergi meninggalkan penggemarnya. Tapi, masih banyak pelajaran yang kita dapati. Salah satunya: pantang menyerahnya. Kita selalu mengagumi seorang maestro setelah tokoh tersebut menjadi bintang. Di dunia bola kita kagumi CR7, Messi, atau Mo Salah. Di dunia bisnis kita kagumi Bill Gates, Warren Buffett, Steve Jobs, Mark Zuckerberg, Jack Ma, atau Si Anak Singkong Chairul Tanjung.
Kita kagumi kesuksesannya, kita kagumi kedermawanannya, kita kagumi kekayaanya, kita kagumi rumah megahnya. Yang sering kita lupa adalah mengambil pelajaran perjalanan berlikunya menuju sukses. Jungkir baliknya, diusir-usirnya, dilecehkannya, diremehkannya, tertipu-tipunya, jatuh bangunnya.
Didi Kempot memilih tidak meneruskan SMA-nya. Dia menjual sepeda yang dibelikan bapaknya. Untuk apa? Beli gitar untuk ngamen. Dari trotoar ke trotoar. Dari warung ke warung, dari kampung ke kampung. Mula-mula di sekitaran Solo, lalu Yogya, lalu, merantau ke Jakarta. Masih tetap ngamen dan memang lewat jalur itulah dia meraih bintang. Begitu fanatiknya dengan ngamen, nama kerennya pun pakai Kempot. Singkatan dari: Kelompok Ngamen Trotoar.
Lord Didi, begitu panggilan kepada ‘Godfather of broken heart’ ini bukan sekedar ngamen. Dia ngamen dengan lagu yang diciptakannya. “Walau dibayar receh, saya tetap bangga. Itu laguku,” katanya di acara Kick Andy. Temanya lagunya tunggal: patah hati. Patah hati yang dijogeti. Patah hati yang dirianggembirai. Merasuk kepada siapa pun kini. Meski pemiliknya sudah pergi.
Pelajaran untuk kita? Pantang menyerah. Meski hidup lagi susah gara-gara corona. Ada yang dirumahkan, PHK, bahkan kesulitan bayar karyawan, malah untuk juga sekedar makan. “Orang kuat tidak menyerah menghadapi tantangan. Mereka malah terinspirasi dan menggalinya dalam lagi dan mencari jalan keluarnya lebih keras.” (Quotes : Peter Shepherd)
Agama kita juga memerintahkan untuk pantang menyerah. Bahkan, Alloh mengecam orang yang putus asa. “Janganlah kalian berputus asa dari rahmat Alloh, sesungguhnya tiada berputus asa, melainkan kaum kafir.” ( QS Yusuf 87).
Ihtiarnya? Apa saja: tanam sayur, pelihara lele, jual kurma, meng-collect belanja para tetangga, apa saja. Pokoknya “do! Kerja.. kerja ” agar tidak melamun.
Ihtiar spiritualnya? Mendekatkan diri kepada Alloh, bermesraaan dengan-Nya. Taqarrub ilalloh. La yukallifulloh nafsan illa wus’aha, Alloh tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya (QS Al-Baqarah 286).
Insya Alloh.