Oleh: Hasan Syukur
Aku punya teman bekas gubernur. Sebut saja Pak Fulan, gubernur di luar Pulau Jawa. Ia dijatuhi hukuman selama 10 tahun dan denda 10 Milyard. Bukan main. Ia terpidana korupsi.
Karena teman, aku tak peduli dengan status terpidana. Bagiku hukum adalah tugas petugas hukum kepada siapapun yang telah dijatuhi vonis. Tapi, koridor silaturahim aku jaga terbuka sepanjang hayat. Bukankah pintu surga tertutup bagi orang yang memutus silaturahim? Fulan bagiku tetap teman. Nasibnya saja harus mendekam di penjara. Sukamiskin letaknya di Kota Bandung. Lapas (lembaga pemasyarakaran) ini diperuntukkan bagi narapidana minimal 10 tahun penjara. Temanku, Fulan disanalah ia mendekam.
Bayanganku, sepuluh tahun pastilah sangat menderita lahir batin. Terisolasi dari sahabat dan terasing dari keluarga. Badanya kurus kering. Dulu ketika masih pejabat selalu dilingkungi para ponggawa, dihormati para sahabat. Sekarang tak seorang ponggawa atau sahabat yang peduli lagi. Ia kesepian. Tak seorangpun yang menemui. Kecuali aku.
Suatu hari aku datang ke lapas itu untuk sekedar bersilaturahim. Begitu bertemu kami saling brangkulan melepas kangen.
“Eeh, Fulan kelihatan badannya sehat, wajahnya tetap ceria. Apa karena Anda olahraga. Jawabannya diluar duggaanku. Aku kira Anda dipenjara sangat menderita”, kataku.
Diluar dugaan, ia malah merasa bebas hidup di dalam penjara. Lalu ia berceritera. Kenapa kok orang hidup dipenjara justeru merasa bebas. Penjahat di luar penjara malah merasa terpenjara.
“Terus terang saya sampai saat ini tidak merasa bersalah”, katanya. “Kalau saya bersalah. Penjara ini sudah penuh dengan pejabat-pejabat yang menyetujui kebijaksanaan saya, mulai dari para bupati, anggota DPRD sampai Mendagri. Kan, disamping disetujui oleh para bupati dan para anggota DPRD, urusan Anggaran Belanja Daerah harus disahkan oleh Mendagri. Tapi yang dihukum cuma saya. Karena itu saya tidak merasa bersalah. Tak serupiahpun uang yang saya makan”, katanya bersemangat. “Fisik saya memang terpenjara tapi jiwaku tetap merasa bebas. Itulah sebabnya kau lihat aku sehat dan ceria”.
Tapi, ia bilang, tak sedikit para pereman bandit koruptor yang hidup di luar penjara. Dan kelihatannya bebas. “Tapi yakinlah, San. Jiwa mereka terpenjara. Hati nuraninyalah yang selalu mendakwa. Akibatnya tidur tak nyenyak makan tak enak. Mereka merasa dihantui oleh nuraninya sendiri, ujung-ujungnynya stres dan selesai”, tuturnya.
Aku tersentak juga oleh penututan temanku itu. Aku pikir benar juga. Aku teringat seorang penulis Napoleon Hill, penulis buku ‘Think and Rich’. Ia mengutip hasil sebuah riset, bahwa diantara empat tempat tidur pasien di rumahsakit, tiga diantaranya karena penyakit hati.
Doktrin “Dibalik badan yang sehat terdapat jiwa yang sehat”. Seharusnya diubah, “Di dalam hati yang sehat terdapat badan yang sehat”.