Oleh : Tatak Ujiyati
Ada cerita menarik dari Bang Geisz khalifah tentang Mas Anies. Dulu tahun 2017 sewaktu meminta ijin Ibunda menjadi kandidat Gubernur DKI, Ibu Aliyah Baswedan bertanya balik: “Apakah Ibu Risma juga maju untuk Gubernur DKI? Kalau Ibu Risma maju kamu tak usah maju, karena amanah kamu sudah ada pada Ibu Risma”.
Pernyataan Ibu Aliyah tersebut membawa pesan mendalam. Bahwa posisi Gubernur –atau jabatan publik lain– dikontestasikan bukan semata demi jabatan atau demi kepentingan pribadi, tapi amanah perjuangan. Dalam kerangka berlomba-lomba dalam kebaikan, perubahan besar ke arah yang lebih baik.
Bahwa di mata Ibu Aliyah Baswedan, Ibu Risma di tahun 2017 adalah seorang pejuang kebaikan juga. Sehingga terucap oleh beliau bahwa apabila Bu Risma maju sudahlah cukup. Menurut beliau amanah perjuangan Mas Anies, untuk melayani warga Jakarta dan membawa Jakarta berubah ke arah yang lebih baik bisa diemban oleh Bu Risma. Tidak perlu harus Mas Anies.
Tapi kita tahu bahwa tahun 2017 Ibu Risma tak maju menjadi calon Gubernur DKI Jakarta. Mas Anies-pun mendapat restu Ibu berkompetisi dalam pilkada. Lalu menang dan menjadi Gubernur DKI kini. Bukan demi ambisi jabatan, tapi demi amanah.
Maka ketika minggu lalu Bu Risma pergi ke kolong jembatan Pegangsaan dan kemudian ada para warganet yang mengolok-olok Anies. Yang katakan langkah blusukan Risma menampar Anies-lah. Yang katakan Anies bangun beres-beres gegara atraksi Risma-lah. Yang katakan Anies dapat pesaing untuk Pilkada DKI ke depanlah. Mereka tidak tahu bahwa Mas Anies dan Ibundanya, tak pernah memandang jabatan gubernur semata sebuah kepentingan pribadi yang harus dipertahankan mati-matian. Tidak. Jabatan gubernur adalah amanah perjuangan untuk melayani warga Jakarta, dan memimpin perubahan terhadap kota ke arah yang lebih baik.
Mas Anies tidak pernah memandang Bu Risma sebagai pesaing, apalagi musuh. Syakwasangka mereka itu terlalu jauh.
Apalagi jika teman-teman mencermati bagaimana Mas Anies mengelola Jakarta kini. Beliau menerapkan manajemen terbuka, kolaborasi, gotong royong. Siapa saja silakan berkontribusi membangun dan merawat Jakarta. Yang diperlukan adalah adanya koordinasi, agar kerja kita efektif dan tidak tumpang tindih.
Maka tidak ada masalah jika Ibu Risma sebagai menteri baru blusukan di Jakarta. Baik-baik saja. Tapi barangkali ada baiknya jika terlebih dahulu beliau berkoordinasi. Bukan apa-apa, hanya agar kerja pemerintah bisa lebih berdampak dan tidak cuma memancing kehebohan. Sebab ternyata menurut Pak Lurah Pegangsaan, 2 keluarga yang tinggal di kolong jembatan itu juga bukannya tak punya rumah. Punya rumah, hanya saja mereka merasa bahwa rumah mereka sempit dan lalu memilih tinggal di kolong jembatan. Mereka juga sudah pernah diberi tawaran kok dari lurah, agar mau pindah ke Rusunawa. Tapi mereka menolak. Tak heran bahwa tawaran Bu Risma kemarin untuk pindah ke rumah binaan Kemensos di Bekasi juga mereka tolak.
Sudah ada niat baik, itu bagus. Barangkali yang diperlukan oleh Ibu Menteri adalah selalu lebih dulu berkoordinasi dengan Pemerintah Daerah jika melihat satu persoalan di daerah. Agar penyelesaian masalah bisa lebih efektif. Tidak reinventing the wheels, kata orang bule. Ora mindo gaweni, kalau kata orang Jawa.
Ada sebetulnya yang lebih strategis dilakukan Ibu Menteri, yaitu melihat persoalan dari kerangka kebijakan yang lebih luas dan berpikir untuk konteks Indonesia, bukan hanya Jakarta.