Tahun 1964, pemerintah menahan HAMKA selama 2 tahun 4 bulan. Semua buku HAMKA dilarang beredar, penerbit pun diancam untuk tidak lagi menerbitkan buku-buku beliau. Padahal penghasilan HAMKA selepas dari undur diri beberapa tahun sebelumnya dari pegawai Kementerian Agama adalah dari royalti buku, mengisi ceramah, atau seminar.
Untuk biaya kehidupan sehari-hari, Ummi, istri HAMKA mulai melelang barang yang dimiliki. Suatu pagi Ummi bersama Irfan, anaknya pergi ke pemilik penerbitan, dengan uang terakhir yang hanya cukup untuk ongkos becak. Ketika bertemu si pemilik penerbitan bekata, “ Ummi, buku-buku Buya yang baru dicetak disita orang. Penyitanya ini dikawal polisi. Ini ada uang sedekah dari kami untuk membeli beras.”
Wajah Ummi memerah, “ Kami datang tidak untuk mengemis. Berikanlah sedekah ini kepada yang lebih memerlukan. Kita hanya bertanya barangkali ada uang honor Buya yang tersisa. Bila tidak ada, tidak apa-apa. Kami pamit pulang.”
Pulang dengan berjalan kaki, Ummi dan Irfan baru sampai di rumah pukul 10.30 siang. Ternyata ada tamu yang sudah menunggu, H.M. Zen pemilik PT. Pustaka Islam. Kata beliau, “Saya pernah sampaikan ke Buya, kalau tanah saya laku ada bagian untuk Buya. Saya tunaikan janji saya.” Beliau memberikan amplop yang cukup tebal kepada Ummi.
Baru saja pak H.M. Zen pulang berhenti lagi sebuah mobil di depan rumah. Ternyata Bapak Anwar Sutan Saidi, pemilik PT. Pustaka Nusantara, sebuah penerbitan di Bukittinggi Sumatera Barat
Kata beliau,”Selama Buya ditahan, semua buku disita PKI. Hanya di Sumatera Barat yang aman bukunya. Saya datang mengirim uang royalti kontan, karena takut jika lewat wesel akan disita pula.”
Sepulang Pak Anwar, Ummi menangis, beliau kemudian mengambil air wudhu dan shalat sunnah syukur kepada Allah SWT.
Artikel dari WAG tanpa menyebut nama dan sumber tulisan. Diringkas dari buku “Ayah”, Kisah Buya Hamka oleh Irfan Hamka.