Oleh: M Rizal Fadillah (Pemerhati Politik dan Keagamaan)
Banyak penguasa terlalu berorientasi pada pembangunan fisik. Lupa pada kewajiban fundamental untuk membangun kekuatan nilai spiritual keagamaan. Prestasi kekuasaan diwujudkan dengan sukses membangun infrastruktur. Inilah fatamorgana kehidupan berbangsa dan bernegara.
Wisata sejarah itu penting untuk menemukan kearifan memimpin khususnya dalam menata sistem kemasyarakatan dan kenegaraan. Sejarah yang diinformasikan oleh Maha Pencipta tentu sarat nilai dengan tingkat akurasi yang tidak diragukan.
Dalam QS Al Fajr, Allah SWT mengingatkan tiga penguasa dan kaum yang salah orientasi yaitu kaum Aad, kaum Tsamud, dan Fir’aun. Ketiganya digambarkan sukses melakukan pembangunan fisik.
Kaum Aad dipuji karena kemampuan membuat istana dan bangunan yang indah dan megah “iroma dzatil ‘imaad”. Nabi Hud As yang mengajak takwa diabaikan. Allah SWT menurunkan angin badai dingin selama 8 hari yang menghancurkan.
Kaum Tsamuud juga memiliki kemampuan teknologi tinggi “alladziina jaabuush shohro bil waad” gunung atau lembah yang dibuat rumah dan bangunan megah, gunung batu yang ditatah. Seruan moral Nabi Saleh tidak didengar.
Lalu Fir’aun juga yang disebut Qur’an memiliki bangunan-bangunan yang tinggi dan kokoh “wa fir’auna dzil autaad”. Oposisi Fir’aun adalah nabi Musa As yang melakukan gerakan pembebasan Bani Israel. Fir’aun berusaha menumpas Musa dan pengikutnya.
Kepada tiga penguasa atau pengendali sistem yang sewenang-wenang di muka bumi tersebut Allah SWT beri hadiah kehinaan berupa adzab. Sebutannya adalah cemeti adzab “Shobba ‘alaihim shauto adzaab”. Dicambuknya kaum dan penguasa infrastruktur tersebut dengan variasi model.
Kaum Aad dengan angin badai hingga tak tersisa kecuali yang beriman. Hancur berantakan dan bergelimpangan. Kaum Tsamuud mati dengan cemeti adzab petir dan guntur bersuara keras. Bergelimpangan pula. Fir’aun dan tentaranya ditenggelamkan di laut merah (bahrul ahmar) terkecoh pandangan “jalan tol” kezaliman.
Faham materialisme yang sarwa materi dalam berbagai bentuk baik liberalisme, kapitalisme, komunisme, pragmatisme, atau sekularisme yang dikembangkan dan menjadi filisofi dalam membangun negeri tidak lain adalah Aad, Tsamud, dan Fir’aun kontemporer.
Agama dan ketauhidan dalam wujud ketaatan ilihiah adalah basis pembangunan yang diridloi Allah. Mengabaikan aspek agama dan ketauhidan ini akan menjadi kausa dari cambukan cemeti adzab (shautho adzab) yang tak tertahankan.
Para pemimpin bangsa dan negara Indonesia harus kembali sadar akan makna pembangunan hakiki. Agama adalah fondasi bukan periferi. Jangan pinggirkan, hina dan permainkan agama. Jika iya, tunggulah datangnya aparat Allah yang akan mencambukan cemeti adzab.
Wisata sejarah akan sampai pada pemandangan yang mengerikan akibat dari salah persepsi, ideologi, dan investasi.