Oleh: Mohammad Fauzil Adhim
Selama 30 tahun, Leif Skjetne aktif sebagai missionaris. Pastor Leif bergabung dengan SFI (Swedish for Immigrants) yang perhatian utama Leif kepada upaya memurtadkan para imigran, tepatnya para pengungsi. SFI sendiri bukan lembaga zending yang memiliki tujuan memurtadkan. Bukan. Lembaga ini memberi pembekalan kepada para imigran kemampuan penting yang diperlukan untuk hidup di Swedia tanpa memandang agama mereka.
Dari perjalanan hidup sebagai pastor selama 30 tahun di Church of Sweden, 15 tahun di antaranya ia habiskan di kepastoran Skillingaryd. Ia dikenal sebagai pastor sekaligus pekerja sosial yang gigih, penuh dedikasi.
Tetapi segalanya berubah ketika Desember 2017 Leif mengikrarkan syahadat, menyatakan dirinya sebagai muslim dan mengganti nama Leif Skjetne menjadi Ahmad Skjetne. Segigih menjalani tugasnya sebagai missionaris, seperti itu pula ketika ia telah mengikrarkan syahadat. Tak mudah baginya untuk pindah agama. Apalagi dengan kedudukannya sebagai pastor dan sekaligus aktif sebagai missionaris, lebih berat lagi tantangan dan tekanan yang harus ia hadapi. Sedemikian beratnya sampai-sampai ketika Ahmad Skjetne memutuskan pindah ke Maroko, SFI mengirimkan team khusus asisten diakonia untuk menemuinya dan berusaha “menyelamatkan” Skjetne agar kembali menjadi pengikut “Sang Juru Selamat”. Tetapi Skjetne secara tegas menolak.
Lalu apa yang terjadi pada Skjetne sehingga berubah dari missionaris Nasrani menjadi muslim yang taat? Ini semua bermula ketika seorang stafnya, pekerja lapangan yang menangani langsung para pengungsi menyampaikan ada seorang pengungsi yang menolak tinggal di tempat penampungan pengungsi. Dia ingin keluar dan tinggal bersama Skjetne. Keinginan mereka ini pun disambut dengan baik oleh Skjetne. Maka tinggallah pengungsi asal Maroko tersebut di rumah Skjetne. Praktis, interaksi Skjetne menjadi sangat intens.
Kehadiran pengungsi yang sangat taat menjalankan syari’at Islam itu merupakan tantangan baru bagi Skjetne. Laki-laki usia 18 tahun dari Maroko bernama Abdullah ini menunjukkan akhlak yang sangat baik dan cukup memiliki pengetahuan mengenai agamanya, yakni Islam. Maka diskusi hangat, akrab dan mendalam pun terjadi hingga hubungannya sudah seperti sahabat lama yang sangat akrab. Pada akhirnya, alih-alih memurtadkan, Skjetne justru tertarik untuk belajar Islam lebih jauh hingga mulai belajar mengerjakan shalat serta melaksanakan puasa Ramadhan di tahun 2016.
Setelah menjalankan berbagai tuntunan Islam dalam kehidupan sehari-hari, Leif Skjetne akhirnya meninggalkan jubah pastornya dan menyatakan diri masuk Islam sekaligus mengganti Namanya menjadi Ahmad Skjetne. Dia kembali kepada fithrah, yakni miLlah Islam yang lurus ini.
Setahun sebelumnya, di bulan yang sama dengan kembalinya Leif Skjetne kepada fithrahnya, yakni Islam, seorang missionaris asal Perancis bernama Sophie Pétronin ditangkap oleh pemberontak Mali, 24 Desember 2016. Di tengah memuncaknya kebencian Presiden Prancis Emmanuel Macron kepada Islam, isu pembebasan Sophie Pétronin menjadi pembicaraan yang sangat menarik perhatian publik. Tidak tanggung-tanggung, pembebasan Sophie Pétronin harus ditebus dengan menukar hampir 200 tawanan yang secara konsisten digambarkan sebagai teroris jihadis atau ekstrimis Islamis.
Sophie Pétronin pun diterbangkan dari Gao, kota di Mali utara tempat Sophie ditawan, menuju Bamako. Bersama Sophie, dibebaskan pula seorang politisi terkemuka Mali dan dua orang Italia yang disebut-sebut sebagai Pierluigi Maccalli, seorang pastor dan misionaris yang ditangkap pada bulan September 2018 in Niger, dekat perbatasan Burkina Faso, serta Nicola Chiacchio. Tetapi media massa lebih banyak menyoroti pembebasan serta kepulangan Sophie ke Perancis yang berlangsung sangat dramatis, 10 Oktober 2020 lalu. Macron menyambut langsung kedatangan Sophie Perancis, orang pertama yang menyongsong Sophie di bawah tangga pesawat.
Menjawab pertanyaan para wartawan dalam konferensi pers, Sophie mengatakan, “Maka untuk Mali, saya berdo’a dan memohon dengan sangat barakah dan kasih-sayang dari Allah karena saya seorang muslimah. Kalian memanggilku “Sophie”, tetapi ini adalah Mariam yang telah ada di hadapan kalian.”