Oleh: Didin Amarudin
Anda malu berjualan? Kalau ya, maka anda dan saya perlu belajar setidaknya pada dua kawan saya ini. Pertama, Afdal Zikri Mawardi. Ia kakak kelas satu tahun di atas saya di STAN. Sekolah kedinasan yang konon ikatan dinasnya paling lama di Indonesia. Mungkin di dunia.
Saya tidak melihat di antara teman-teman lain saat itu, baik satu angkatan, kakak kelas atau adik kelas, yang spirit jualannya melebihi Afdal ini.
Sejak kuliah ia menjual apa saja. Mulai dari sepatu, ikat pinggang, kaos, majalah dan jam tangan. Jam tangan pertama yang saya beli, Orient watch, hadir karena kejeliannya melihat peluang. Afdal mendatangi kami, mahasiswa tingkat dua yang baru mendapat rapelan tunjangan, dengan membawa sejumlah jam tangan. Banyak dari kami yang membeli saat itu, termasuk saya.
Pun ketika tahun 1989 ia telah bekerja sebagai pemeriksa pajak di DJP Kementerian Keuangan, semangat berjualannya bukannya mengendor. Malah lebih giat lagi.
Ia berjualan jilbab, kaos, madu, kambing akikah dan jam tangan. Alasannya : gajinya sebagai PNS tidak cukup. Padahal konon ia berada di tempat yang basah. Tapi kantongnya tetap saja kering. Tanpa dibilang, pasti anda tahu sebabnya: ia pemeriksa garis lurus. (Tapi tentu sekarang berbeda. ASN di DJP bisa hidup sejahtera cukup dengan gaji dan tunjangan yang sah. Asal tidak bergaya sultan atau artis saja)
Lalu tahun 1998 Afdal bersama tiga orang temannya mendirikan MUC Consulting. Di akte pendirian namanya Multi Utama Consultindo. Tapi menurut Afdal, saat itu MUC adalah “Membutuhkan Uang Cepat”. Refleksi dari keterbatasan keadaan keuangan mereka saat itu. Padahal keempatnya adalah akuntan pemeriksa. Dan mereka memilih mundur dari PNS.
Keputusan Afdal mengundurkan diri dari PNS ternyata tidak salah. MUC Consulting berkembang pesat. Perusahaan yang awalnya berkosentrasi pada pemberian jasa konsultasi pajak, merambah ke berbagai bidang lainnya dengan banyak anak perusahaan.
Bahkan tahun 2010 MUC telah mempunyai gedung perkantoran sendiri: MUC Building, gedung megah tujuh lantai di kawasan seksi TB Simatupang Jakarta Selatan. Dan Afdal adalah salah satu pendiri dan pemiliknya.
Toh ini pun tidak menghentikan jempol Afdal untuk memposting jualan madu, zaitun, kurma dan lain-lain di grup-grup whatsApp, FB, dan akun media sosial lainnya. Sampai hari ini.
Anda jangan bayangkan sekarang ia sedang menjual dalam skala kontainer. Ia tetap saja menjual madu atau zaitun dalam kemasan literan. Pun kurma yang dijual dalam ukuran kiloan.
Tentu Afdal tidak saja bekerja sendiri. Secara cerdas ia membangun asset digital berupa grup-grup reseller melalui platform whatsApp.
Sebelum badai covid-19 ia banyak menjual paket-paket perjalanan umroh melalui grup-grup reseller ini. Ketika pandemi seperti sekarang ini, ia gunakan asset digitalnya itu untuk menjual apa saja yang berkaitan dengan kesehatan dan daya tahan tubuh: madu, zaitun, shafron, kurma dan lain-lain.
Ada beberapa alasannya mengapa ia tetap berjualan. Tapi salah satu yang paling kuat mendorongnya adalah seperti apa yang disampaikan kepada saya beberapa hari lalu,
“Coba bayangkan dengan kita menjual kurma satu kilo saja, kita telah menggerakkan banyak roda ekonomi. Mulai dari petani, pengepul, pedagang, importir, reseller, perusahaan ekspedisi, motoris ojol dan lain-lain.”
Anda mengerti sekarang mengapa ia tetap masih berjualan.
Teman saya yang satu lagi Yudisrizal namanya. Sama seperti Afdal, ia akuntan lulusan STAN. Satu angkatan dengan saya.
Tiga belas tahun ia bekerja sebagai auditor pemerintah di BPKP. Tahun 2003 ia pindah ke SKK Migas. Sampai sekarang. Walaupun ia pejabat di lembaga yang bergengsi itu ia tidak sungkan untuk berjualan.
Yang dijual bukan barang-barang bernilai ratusan juta atau milyaran. Sama seperti Afdal, yang dijual paket-paket tidak lebih dari 50.000 per kotaknya.
Setahun ini misalnya ia berjualan susu kambing powder. Ia menjual di mana saja. Offline maupun online. Di grup-grup WhatsApp, Facebook dan semisalnya. Secara offline, ia mendatangi puskesmas, polsek, tempat-tempat keramaian seperti acara senam emak-emak dan lain-lain. Dan tentu di kantornya sendiri, SKK Migas. Bahkan di kantor ia tidak menyembunyikan diri kalau dia jualan.
“Bisa saja saya minta tolong sekuriti untuk membawa satu karton barang jualannya dari lift ke ruangannya,” tuturnya.
“Tapi sengaja saya panggul sendiri, supaya orang melihat bahwa saya berjualan.”
Kekurangan uang? Sepertinya tidak. Istrinya bekerja sebagai ASN di Deptan. Anak dua saja. Yang paling besar sudah selesai kuliah. Hidupnya pun sederhana saja. Tidak neko-neko. Tabungan lebih dari cukup.
Ketika saya tanya alasan utamanya berjualan, ia merendah dengan menjawab,
“Saya kan sebentar lagi masuk masa pensiun. Siap-siap saja.”
Yang saya tangkap bukan itu. Teman saya ini punya kepedulian sosial yang tinggi. Jadi dia giat mencari uang agar bisa berbagi lebih banyak lagi. Lihat saja sejak 28 Maret 2020 lalu, ia menginisiasi pembagian beras gratis kepada lingkungan sekitar yang terdampak covid 19.
Awalnya ia mengemas beras sebanyak 50 kg ke dalam beberapa bungkus. Lalu bungkusan-bungkusan beras itu ia letakkan di meja yang ia pajang di pinggir jalan depan rumahnya. Maka dalam beberapa jam saja bungkusan itu sudah habis terbagi.
Aksi kebaikannya beresonansi. Sumbangan mulai berdatangan dari lingkungan teman alumni, kantor dan lain-lain. Mereka menitipkan uang untuk dibelikan beras dan dibagikan.
Semula Yudisrizal menargetkan membagikan total 1 ton. Namun sumbangan terus bergulir hingga pada hari ke 66 sudah 5.2 ton beras tersalurkan. Artinya ada begitu banyak orang yang dibahagiakan dengan aksinya.
Dalam urusan jualan sebetulnya saya mempunyai beberapa teman lainnya. Uang tidak menjadi masalah lagi bagi mereka. Properti mereka ada di mana-mana. Di dalam negeri dan di luar negeri. Mereka mempunyai bisnis dan property yang menghasilkan uang. Bekerja maupun tidak bekerja. Toh mereka tetap berjualan. Sebab di balik jualan itu ada nilai-nilai lain, selain uang.
Jadi, masih malu jualan? Semoga tidak lagi.