Mengenang wafatnya Mas Malik Fadjar 8 September 2020
Oleh: Imam Suhardjo HM
Menjelang Pemilu 1997 aku menemui Mas Malik di kantornya Departemen Agama RI. Beliau menjabat sebagai Direktur Jenderal Binbaga Islam. Ada keraguan untuk menemuinya, takut beliau lupa karena sudah lebih seperempat abad tak jumpa. Aku di Jember dan kemudian pindah ke Jakarta, sedang beliau di Malang. Dan sangat jarang –kalau tak mau disebut tak pernah—berkomunikasi. Kenanganku melayang ke awal tahun 70-an, ketika aku mulai aktif di HMI Cabang Jember.
Kala itu aku indekost di Jalan Kartini 32 Jember, di sebuah rumah besar yang asri, berhalaman luas, di pinggir jalan besar, berhadap-hadapan dengan Kantor Polres Jember. Pemiliknya adalah seorang priyayi sepuh bangsawa Madura, pensiunan Kepala Kantor Pos. Aku kost di situ mengikuti seniorku Mas Darwo, mantan Sekum Cabang. HMI Cabang Jember yang belum punya Sekretariat permanen, memakai kediaman Sekum sebagai alamat surat. Bahkan sampai beliau tak menjabat Sekum lagi pun, kediamannya tetap dipakai sebagai alamat surat. Agaknya itu sebabnya dia mengajakku tinggal di situ, agar surat-surat penting untuk Cabang langsung bisa disampaikan ke Pengurus Harian lainnya, khususnya Ketua Umum dan Sekum, olehku, bukan olehnya. Beliau waktu itu mulai berdinas di BRI, tentu akan repot kalau masih antar-antar surat ke Pengurus Cabang.
Suatu siang datanglah seorang berpostur tinggi dan gagah, berambut agak keriting. Itulah Abdul Malik Fadjar, BA, Ketua Umum HMI Badko Jawa Timur. Itu bukan kedatangannya yang pertama. Sebagai Ketua Umum Badko mas Malik –panggilan akrabnya– cukup sering datang ke Jember. Menurut beliau ada tiga Cabang di Jawa Timur yang harus selalu diprioritaskan yaitu Surabaya, Malang dan Jember. Mengapa? Karena di tiga kota itu ada PTN, sumber rekruitmen tetap HMI yang potensial. Ketiga Cabang itulah kala itu yang berstatus sebagai Cabang Penuh, sedang beberapa lainnya berstatus sebagai Cabang Persiapan. Di Cabang-cabang Persiapan itu memang hanya ada PTS, atau ada satu fakultas sebagai cabang dari PTN di Surabaya, Malang atau Jember.
Dan Mas Malik selalu datang ke Kartini 32. Mandi-mandi, shalat dan lain-lain. Malam hari baru pertemuan dengan Pengurus Cabang di rumah alumni yang cukup representatif. Mas Malik mudah akrab dengan yunior-yuniornya, dan sangat tidak merepotkan. Dalam pertemuan itu Mas Malik selalu membawa informasi paling gress tentang berbagai hal mulai dari kehidupan perguruan tinggi dan kemahasiswaan, sosial, politik dan lain-lain. Ngomongnya rada cepat mirip Cak Nur, Ketum PB kala itu. Dan memang, Mas Malik sangat mengagumi Cak Nur. Dan sering menyampaikan gagasan-gagasan Cak Nur sebagai bahan diskusi. Mas Malik sangat pintar ‘memprovokasi’ kami untuk mengkritisi apa yang dia sampaikan. Pokoknya, kami serasa mendapat energi baru jika Mas Malik datang. Besoknya, dan seterusnya apa yang disampaikan Mas Malik masih akan menjadi bahan diskusi kami. Wal hasil, kedatangan Mas Malik selalu kami nantikan.
Tapi kehadiran beliau terhenti ketika Musda akan segara digelar. Kami bertemu di arena Musda di Gedung PHI Surabaya. Dalam Musda tersebut terpilihlah Mohtar Ollong (sudah wafat beberapa tahun lalu). Aku sempat ngobrol dengan Mas Malik dan minta agar tetap datang ke Jember. Beliau bilang, akan segera menyelesaikan kuliahnya di IAIN Malang, yang kalau tak diseriusi khawatir gak rampung-rampung. Mas Malik meminta kami tak usah khawatir, karena Ketum Badko baru Cak Mohtar Olong, juga enak diajak diskusi. Dan memang benar, Cak Olong yang kuliah di FH Unair itu tak kurang menyenangkan.
Waktu itu menjelang Pemilu 1971, Pemilu pertama di era Orde Baru. Kutanya, apa Mas Malik berniat akan menjadi Caleg. Jawaban beliau menarik dan akan selalu kuingat.
“Dik. Yang jadi Caleg itu banyak. Peluangnya tipis. Kita belum tahu Pemilu ini nanti bagaimana. Walaupun, seperti kata Cak Nur, betapapun sebuah Pemilu, itu masih lebih baik daripada tidak ada Pemilu sama sekali”
“Jadi Mas Malik tak tertarik ke politik? Sayang lho. Mas Malik kan potensial untuk menjadi politisi!”
“Aku mau jadi dosen saja, dik.”
Itulah pertemuan terakhirku dengan Mas Malik di mana kami bisa ngobrol. Setelah itu kami bertemu sekilas-sekilas saja dalam beberapa acara. Dan kini, tiba-tiba aku harus menemui Mas Malik di kantornya ketika dia sudah menjadi pejabat eselon I. Aku tersadar dari lamunanku ketika staff Mas Malik mempersilakanku masuk.
“Apakabar dik Imam Sudarwo?” sapanya hangat.
“Baik, Mas. Tapi saya Imam Suhardjo. Bukan Imam Sudarwo. Kalau Imam Sudarwo itu Ketua FBSI, Mas,” jawabku agak panjang.
“Iya, ya. Tapi selain Asri Harahap, yang kuingat tentang Jember adalah Zaima Ketum Kohati, dan penghuni rumah di depan Kantor Polisi Jember itu. Di situ kan ada Imam dan ada Sudarwo toh?” kilahnya, menyebut nama Mas Darwo yang lebih dulu beliau kenal.
“Yo, wis. Saiki opo perlumu?” (Ya, sudah. Sekarang apa perlumu?)
Ku ceritakanlah bahwa aku aktif di DPP PPP di bawah kepemimpinan Buya Ismail Hasan Metareum, sebagai Anggota Pusdiklat. Tugasku menyiapkan pelatihan-pelatihan kader partai, sesuatu yang kusukai sejak di HMI. Dan menjelang Pemilu 1997 ini aku didaftarkan sebagai Calon Anggota Legislatif (Caleg) dari Dapil Jawa Timur. Sedangkan aku PNS di Depag, yang sebagaimana PNS lainnya harus ada ijin dari Menteri, sebagai kelengkapan pencalegan.
“Lha sampean jadi pengurus partai, apa minta ijin?”
“Nggak, Mas! Kalau minta ijin pasti tak kan diijinkan, to?”
Beliau senyum-senyum lalu meminta berkas-berkas yang diperlukan. Sudah kusiapkan, selengkap-lengkapnya.
“Awakmu iku Caleg nomer piro?” (Dirimu itu Caleg nomor berapa?”)
“Nomor 27, Mas!”
“Hah? Kan gak mungkin dapat itu!”
Pemilu masa itu satu provinsi satu dapil. Pada Pemilu sebelumnya (1992) di Dapil Jawa Timur PPP mendapat 11 kursi. Andaikata naik 100% pun baru dapat 22 kursi. Dan itu relatif mustahil. Pantas kalau beliau bilang gak mungkin dapat.
“Maaf Mas. Ini bukan soal dapat atau tidak. Ini soal hak politik saya sebagai warga Negara.”
“Kalau nomormu memungkinkan untuk dapat, aku akan usahakan supaya dapat ijin. Lha kalau begini sulit aku memerjuangkannya,” jawab beliau.
“Begini, Mas! Menurut saya ada 3 alternatif,” kataku, yang sebelum menghadap beliau sudah kupersiapkan matang-matang argumentasiku.
“Apa itu?” Wajah beliau tampak agak kesal.
“Pertama, saya minta ijin berhenti dengan hormat sebagai PNS. Kalau tak PNS kan saya bebas jadi Caleg.”
“Apa alasanmu minta berhenti dengan hormat?”
“Mau jadi Caleg, Mas”
“Waduh! Enak aja, kamu!”
“Atau alternatif ke dua, Mas!”
“Apa itu?”
“Saya minta pensiun dini!!”
“Tidak gampang itu, dik. Ada syarat-syarat yang cukup berat!”
Wajahnya mulai memerah. Aku pun sudah deg-degan. Jangan-jangan aku dianggapnya mendikte beliau. Mulai kebayang akan gagal menjadi Caleg. Padahal syarat-syarat lain yang cukup rumit seperti Litsus, Surat Keterangan Tidak Pernah Dipidana dan tetek-bengek lain-lain, harus dilampiri ijin dari Menteri, jika Caleg seorang PNS.
“Kalau nggak mungkin, ya tinggal alternatif terakhir, Mas!”
“Apa itu?!” Untuk ketiga kalinya beliau bertanya dengan kalimat pendek yang sama.
“Beri saya ijin jadi Caleg!”
“Mengko disik. Sing Dirjen iku, aku opo awakmu?” (Ntar dulu. Yang Dirjen itu aku apa kamu?”)
“Mati, aku”, pikirku. Dialog terhenti. Tampak dia sedang berpikir keras. (Saking tegangnya, aku lupa apa beliau merokok atau tidak, waktu itu. Sebab beliau perokok kelas berat).
Tapi itu tak lama. Memang dalam pergaulan sebelumnya di HMI, aku belum pernah lihat beliau marah. Ketika kemudian beliau tersenyum, lega aku. Mendapat ijin atau tidak asal beliau tak marah, senanglah aku. Orang sebaik itu Mas Malik. Di tengah kesibukannya sebagai seorang Direktur Jenderal masih mau meluangkan waktu cukup lama melayani kerewelan yuniornya.
“Tinggal saja berkas-berkasmu ya? Mudah-mudahan ada jalan keluar. Habis, kamu maksa banget, sih,” katanya, mengakhiri percakapan, lagi-lagi dengan tersenyum. Itulah Mas Malik, masih menyempatkan tersenyum setelah kubikin repot.
Ternyata teman2 Caleg PPP yang dari PNS tak hanya aku. Dan mereka juga mengeluh tak bisa mengurus kelengkapan persyaratan lain sebelum mendapat ijin dari Menteri. Salah seorang di antaranya adalah Dr. Ramli Hutabarat, SH, dosen FH UI, teman akrabku sejak di PB HMI. Sebenarnya sih, aku tak terlalu berharap menjadi Anggota Dewan, mengingat nomorku jauh di bawah. Hanya feeling politikku menyatakan akan terjadi perubahan besar dalam perpolitikan tanah air. Dan aku ingin menjadi bagian dari perubahan itu. Sebagai Anggota MPR pun cukuplah.
Beberapa hari kemudian, di tengah-tengah harap-harap cemas itu aku diberitahu staff sekretariat DPP PPP bahwa ijinku dari Menteri sudah keluar. Hah? Serius? Ternyata benar! Betul-betul kejutan! Kutanya siapa lagi para Caleg PNS yang ijinnya keluar. Ada beberapa nama yang masih kuingat. Ada Drs. Kaoy Syah, dosen dari Banda Aceh. Ada Dr. Muchtar Azis, dosen di Jakarta. Lalu, Dr. Ramli Hutabarat yang kusebut di depan. (Kini ketiganya sudah wafat.
Allahummaghfirlahum….)
Beberapa hari kemudian, Ramli Hutabarat bertelpon ke aku menyatakan mungkin tak jadi nyaleg. Ketika kutanya mengapa, dia jawab tak ada ijin dari Menteri. Rupanya dia belum tahu kalau ijin sudah keluar. Nyaris tak percaya ketika kubilang ijinnya sudah keluar.
Walhasil, kami akhirnya lolos jadi caleg. Tahapan Pemilu selanjutnya pun mulai berjalan. Kampanye dimulai setelah sebelumnya mendapat pembekalan dari partai. Aku konsentrasi di dapilku di Jawa Timur. Karena sudah mendapat ijin Menteri, aku bisa leluasa meninggalkan tugas kantorku untuk kampanye di Dapilku. Yang penting, memberi tahu agar tugas-tugasku bisa digantikan orang lain.
Di masa-masa kampanye itu ada tiga orang Caleg Jatim di atasku meninggal dunia. Otomatis nomorku naik dari 27 menjadi 24. Menjelang Pemilu ada seorang lagi terpaksa mundur dari pencalonan karena sesuatu hal. Maka nomorku naik menjadi 23. Hari pencoblosan tiba. Penghitungan suara pun dimulai. Progress penghitungan suara terus diupdate setiap saat di televisi itu. Dan ajaib. Dapilku mendapat 22 kursi, naik 100% dari Pemilu sebelumnya! Sedangkan nomorku 23. Hah? Selangkah lagi. Begitulah hingga rangkaian kegiatan penghitungan suara selesai, aku tetap di nomor 23. Sedang jumlah kursi yang diraih dapilku tetap 22.
Tetapi ‘keajaiban’ lain terjadi. Satu lagi Caleg dari Jatim mundur. Waktu itu seorang Caleg bisa mendaftar di dua tempat, misalnya utk DPRD Kabupaten dan Provinsi, atau Provinsi dan Pusat. Seorang Caleg senior memilih untuk tetap di Jatim, sehingga ia meninggalkan kursinya di DPRRI. Dan kursi itu untukku, adik ideologisnya Mas Malik Fadjar, yuniornya Mas Malik Fadjar, yang sebelumnya ia bantu mendapatkan ijin Menteri, walaupun menurut perhitungannya sulit untuk mendapat kursi.
Dan orang baik itu kemarin siang dimakamkan di TMP Kalibata. Kuikuti prosesi pemakamannya dengan tuntas. Titik air mataku ketika Irup Prof. Muhajir Efendi, yunior Mas Malik lainnya yang kini menjabat Menko PMK, agak terbata membaca apel persada mengantarkan Mas Malik ke liang lahat. Selamat Jalan seniorku! Selamat Jalan Ketum Badkoku. Selamat Jalan Pahlawanku. Allahummaghfirlahu warhamhu wa ‘afihi wa’fuanhu.