“Sakitnya tuh, di Sini”
Oleh: Pierre Suteki
Sebagai bagian dari bangsa besar Indonesia, kita perlu merasa prihatin atas kondisi kita di tengah pergaulan internasional. Prihatin kita semua, ada 59 negara yang menolak traveler kita, apa pun alasan kunjungan kita.
Seandainya dulu kita mau lockdown seperti Islam mengajarkan dalam menghadapi wabah, mungkin tidak begini jadinya. Banyak yang terpuruk, bisa ambruk kita.
Prihatin..cuma bisa prihatin..! Lihatlah, di masyarakat, sikap dan perilakunya seolah sudah tidak ada lagi Puan Corona, padahal kuantitasnya sedang tinggi-tingginya sehingga 59 negara menolak traveler dari Indonesia sekaligus melarang warganya berkunjung ke Indonesia.
Kini, Indonesia benar-benar menjadi negara yang paling ditakuti oleh negara lain, sekelas Amerika sekalipun. Lalu, apa yang bisa kita lakukan? Pasrah, putus asa atau tetap berkarya dan berdoa meminta jalan terbaik kepada Allah? Begitu pun, Indonesia tidak sepi dengan issue-issue yang sebenarnya tidak urgen dengan masalah utama. Sudah ngerti masalah kita utama adalah pandemi covid-19, tapi tetap juga dihembuskan issue tentang radikal-radikul yang memancing kegaduhan karena pernyataan Menag dikaitkan dengan santri yang “good looking” dan hafidz Quran. Apa relasinya “good looking” dan hafidz Quran dengan radikalisme yang jenis kelaminnya saja tidak jelas!
Belum selesai masalah, dihembuskan lagi persoalan nasionalisme suatu wilayah yang dikaitkan dengan iiwa Pancasilaisme. Mungkin benar pernyataan Puan Maharani tidak terkandung “mens rea” atau niat jahat melukai perasaan rakyat Minang, tetapi kalau ternyata pernyataan itu menyinggung perasaan rakyat Minang, apa itu juga salah. Yang punya perasaan mereka, bukan orang lain atau Puan Maharani sendiri. Sebenarnya mudah penyelesaiannya. Tidak perlu orang lain sekelas Dr. Ahmad Basarah menjadi “juru bicara” berusaha membela Puan Maharani. Namun, cukup Puan Maharani sendiri yang menyatakan permintaan maaf jika pernyataannya dianggap menyinggung perasaan rakyat Minang seraya menjelaskan apa maksud kalimat pernyataannya tersebut. Clear and clean not riot!
Andaikan masalah Puan Maharani dengan rakyat Minang dianggap selesai, kita masih menyisakan masalah berat di bidang idelogi, yakni RUU HIP dan RUU BPIP serta persoalan radikalisme. Memang kita perlu prihatin lagi mengingat para pemimpin negeri ini lah yang sering membuat gaduh di tengah rakyatnya. Mungkin benar, agar para pemimpin itu bisa kerja, kerja dan kerja sebaiknya puasa bicara tapi mikir dengan tetap berotak besar bukan ber-otak kecil (ocil) agar bisa open mind dan open heart.
Open mind dan open heart memang diperlukan bagi pemimpin negeri ini. Namun, tidak cukup itu melainkan perlu sense of crisis. Pilkada, apa perlunya pilkada langsung ketika kita masih dalam situasi pandemi tinggi covid-19. Perppu memang sudah dikeluarkan bahwa Pilkada langsung serentak akan diselenggarakan tanggal 9 Desember 2020. Namun, apakah tidak perlu kita berpikir bahwa ada kemungkinan besar akan ada cluster baru covid-19 yang disebut Presiden sebagai CLUSTER PILKADA. Apakah tidak makin mengerikan pandemi covid-19 di negeri ini? Berapa lagi negara yang akan “ngebanned” kita?
Menyaksikan realitas seperti ini, kalau saya Presidennya maka akan saya keluarkan Perppu kedua yang isinya mengubah sistem Pilkada dari Pilkada langsung menjadi Pilkada Tidak Langsung selama Pandemi ini. Jadi, kepala daerah cukup dipilih oleh anggota DPRD. Itu baru Presiden dengan sense of crisis yang tinggi sekaligus MEMANG tetap “berotak besar”. Bagaimana? Mau makin dikucilkan dari pergaulan dunia atau lebih baik berkorban sistem sesaat tetapi akan makin dicintai negara lain dalam percaturan dunia? Ingat, sakitnya tuh di sini, dibanned 59 teman mondial.
Tabik…!!!