Oleh: Didin Amarudin
Mandornya memanggilnya bolot, hanya karena pendengarannya kurang sempurna. Kerjanya, sebelum covid, sebagai driver ojol. Sekarang serabutan. Apa saja termasuk menjadi kuli bangunan.
Saya tidak suka panggilan bolot itu. Pertama, Nabi tegas melarang memanggil seseorang dengan julukan yang jelek dan negatif. Julukan yang tidak disukai oleh orang yang diberi julukan.
Kedua, ketidaksempurnaan fisik tidak menggabarkan kualitas seseorang. Contohnya Ade tadi, yang dijuluki bolot itu.
Pasca Ramadhan teman saya memintanya untuk berbenah di kantornya. Dan setelahnya, saya memintanya untuk melakukan perbaikan kecil di rumah, seperti rel garasi yang macet dan saluran air yang tertanam di dak beton yang bocor.
Pengamatan saya justru Ade, yang usianya terpaut empat tahun lebih muda dari saya, bekerja lebih teliti dan lebih cermat dibanding mandornya.
Ia berusaha menyelesaikan pekerjaan sebaik mungkin, tidak sekedar selesai. Dan yang saya sukai, tidak ada kata tidak bisa keluar dari mulutnya. Maka setelah itu kami menyuruhnya apa saja; membetulkan mesin cuci yang ngadat, mesin pompa yang mati dan lain-lain. Dan ia bisa memperbaiki itu semua.
Tapi bukan itu yang mengejutkan saya dan teman saya. Di suatu sore teman saya pemilik kantor itu bertanya kepada Ade, yang belakangan kami tahu nama sebenarnya adalah Riza, tentang keluarganya; Berapa anaknya dan ada di mana sekarang.
Pertanyaan biasa saja. Hanya ingin tahu, bapaknya kerja serabutan, rumah ngontak, terkadang harus bermalam berhari-hari di lokasi proyek, atau seharian kehujanan dan kepanasan di jalanan bagaimana dengan anak-anaknya. Terutama sekolahnya. Terutama dengan pembelajaran jarak jauh ini. Yang orang tuanya lebih repot daripada anaknya.
Lalu ia menjawab dengan santai bahwa anak pertamanya sarjana dari universitas di Turki, dan sedang melanjutkan S2 di sana. Anak kedua kuliah di Saudi Arabia. Dan anak ketiga mondok di sebuah pesantren di Tasikmalaya.
Awalnya ketika ia mengatakan anaknya kuliah di Turki dan Saudi kami anggap ia sedang bercanda. Tapi ternyata tidak. Akhirnya meluncurlah beberapa pertanyaan lanjutan dari kami. Bagaimana kisahnya anak-anaknya bisa kuliah di luar negeri.
Anak pertamanya perempuan lulusan dari sebuah SMP negeri di Jakarta. Nilainya yang bagus memungkinkannya untuk melanjutkan ke SMA negeri. Tapi karena Ade khawatir dengan pergaulan remaja, maka ia menginginkan anaknya mondok di pesantren.
Jangan harapkan Ade yang akan mencarikan di mana anaknya akan mondok. Sampai sekarang pun ia masih suka lupa menyebutkan nama sekolah di mana dulu anaknya menuntut ilmu.
“Tugas saya nyari duit buat sekolah. Sekolah mana saya mah gak tahu,” katanya.
Lalu anaknya mencari sendiri calon sekolah pilihannya. Tidak terlalu sulit di zaman sekarang mencari informasi sekolah. Lalu pilihan jatuh pada sebuah Islamic boarding school modern di Subang. Asy-Syifa. Maka mendaftarlah si anak di sana dan diterima. Keren. Saya tahu itu sekolah bagus. Saya kenal baik dengan ketua yayasannya. Tidak mudah masuk ke sana. Karena peminatnya begitu banyak. Datang dari berbagai kota di pulau Jawa. Bahkan dari luar pulau Jawa juga.
Tiga tahun si anak bersekolah di sana dan tamat tahun 2015 dengan prestasi bagus. Dan selama tiga tahun itu Ade hanya satu kali menjenguk anaknya. Yaitu saat pengambilan rapot kenaikan kelas dari kelas satu ke kelas dua.
Lalu lanjut ke Turki dengan beasiswa penuh. Selesai. Dan sekarang sedang melanjutkan S2 nya di sana.
Tentang anak keduanya, laki-laki, tentu saya juga bertanya bagaimana bisa ke Saudi.
Selepas lulus madrasah diniyah di Jakarta, ia daftarkan anaknya di SMPIT Ar-Rahmaniyyah di Cilodong Bogor. Lagi-lagi sekolah lumayan bagus. Dan relatif sudah dikenal. Setidaknya untuk wilayah Jakarta, Depok Bogor, Bekasi dan sekitarnya.
Namun, jangan harap Ade mampu menyebutkan nama sekolah itu dengan benar. Pun sampai sekarang. Yang dia ingat: dekat kostrad, asrama laki-lakinya adalah rumah kayu dan di dalam komplek ada kali kecil yang kalau hujan lebat airnya suka meluap.
Tidak salah, pasti itu Ma’had Ar-Rahmaniyyah. Salah satu anak saya menuntaskan hafalan 30 juz nya di situ.
Tiga tahun bersekolah di sana. Selesai. Saya tidak bertanya lagi berapa kali selama itu ia menjenguk anaknya.
Entah kebetulan atau keberuntungan. Ade Mempunyai adik yang bersuamikan pejabat di departemen perdagangan yang bertugas di Saudi. Jeddah tepatnya. Maka selepas tamat mondok di Ar-rahmaniyyah diboyonglah anak kedua Ade ke Saudi. Dan bersekolah di sana.
Saat saya tanya, “Saudi-nya di mana, De?” lalu ia menjawab, “Gak tahu Pak, Abu Dhabi apa gitu.” Saya tidak mau bertanya lebih detail lagi. Jadi kalau saya ketemu ‘Jeddah’, itu setelah saya menelisik ke pertemanan Ade di akun Facebook-nya.
Ups..sebetulnya Ade ini pintar.
Pernah dalam suatu kesempatan saya bertanya,
“Kok anak-anakmu pintar, De. Emang Emaknya pintar?”
“Saya lah Pak,”Katanya.
“Saya kan dulu diterima di IKIP Jakarta melalui PMDK.”
PMDK adalah Penelusuran Minat dan Kemampuan. Ia adalah seleksi mahasiwa baru melalui jalur undangan semacam SNMPTN sekarang. Artinya Ade ini memang pintar. Hanya saja karena ketiadaan biaya terpaksa ia drop out dari bangku kuliah pada semester ketiga. Ayahnya sudah wafat saat ia masih kecil. Ibunya penjahit pakaian. Tidak cukup untuk membiayai Ade kuliah, satu kakaknya dan masih ada tiga adiknya.
Ada hal lain lagi yang saya salut. Ia tidak pernah mengharapkan bantuan dari anaknya atau dari saudara-saudaranya. Sesulit apapun prinsipnya selama masih bisa cari makan sendiri ia akan lakukan.
Maka jika kita mendapatkan petugas kurir antar, pelayan di restoran, pengendara ojol, buruh kasar dan semisalnya bisa jadi di antara mereka ada Ade-Ade lainnya. Hanya saja karena mereka tidak update status di media sosial ‘Selamat ya Nak, kamu diterima di perguruan tinggi’, kita menjadi tidak tahu.